Selasa, 14 Februari 2012

Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Tuban


Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat merupakan salah satu program yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Sasaran dari program ini adalah masyarakat yang di lingkungannya belum memiliki fasilitas sanitasi yang layak. Tidak adanya fasilitas sanitasi ini menyebabkan masyarakat melakukan Buang Air Besar Sembarangan (BABS). 

Indonesia sendiri dalam rangka menuju Milenium Development Gold terus mengembangkan program-program sanitasi yang berbasis masyarakat dengan harapan Indonesia akan bebas dari BABS di era Milenium Development Gold. Di tahun 2011 melalui Kementrian PU melaksanakan program SLBM di Kabupaten Tuban dengan sasaran desa-desa yang belum memiliki fasilitas sanitasi yang memadai.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Bina Ekonomi Sosial Terpadu (BEST) Surabaya ditemukan tiga desa di mana fasilitas sanitasi masih belum memadai. Tiga desa tersebut antara lain desa Sumber Agung Kecamatan Plumpang, Desa Kaliuntu Kecamatan Jenu, dan desa Mrutuk Kecamatan Widang.


Survey pertama dilakukan di Desa Sumber Agung Kecamatan Plumpang. Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa di desa Sumber Agung 20% warga melakukan BABS di kebun, sungai, kolam, sawah, atau pun di tanah-tanah kosong. Sedangkan warga yang memiliki toilet dengan cubluk sebesar 20%. Dan 50% warga mengaku memiliki toilet dengan septic tank/pengolah air limbah.

Survey berikutnya dilakukan di desa Jenu Kecamatan Kaliuntu. Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa di desa Jenu 6,7% warga melakukan BABS di kebun, sungai, kolam, sawah, atau pun di tanah-tanah kosong. Bahkan sebagian warga mengaku melakukan BABS di laut mengingat desa ini terletak di pesisir utara pantai jawa. Dari grafik di atas dapat diketahui warga yang melakukan BABS di laut sebesar 13,3%. Yang cukup memprihatinkan, ternyata sebagian besar warga desa Jenu melakukan BAB di toilet yang dialirkan langsung ke lingkungan seperti sungai atau pun selokan. Selain itu masih ada warga yang melakukan BAB di toilet dengan cubluk, yaitu sebanyak 13,3%. Dari grafik di atas juga dapat diketahui bahwa warga yang memiliki toilet dengan septictank tergolong masih rendah yaitu hanya sebanyak 26,7%.


Survey berikutnya dilakukan di desa Mrutuk Kecamatan Widang. Kondisi perilaku masyarakat di desa Mrutuk bisa dikatakan cukup memprihatinkan. Dari grafik di atas dapat diketahui sebanyak 53,5% masyarakat melakukan BABS. Angka ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat desa Mrutuk yang belum memiliki toilet. Selain tidak memiliki toilet, sebanyak 20% warga melalukan BAB di toilet yang dialirkan langsung ke media lingkungan seperti sungai atau pun selokan. Selain itu sebanyak 20% warga melakukan BAB di toilet dengan cubluk. Gambaran seperti di atas menunjukkan minimnya sarana sanitasi yang ada di masyarakat. Hal itu juga dikuatkan dengan sedikitnya warga yang memiliki toilet dengan septic tank. Dari grafik di atas dapat diketahui hanya 6,7% warga desa Mrutuk yang memiliki toilet dengan septic tank.
Dengan adanya data dari hasil survey ini menunjukkan bahwa masyarakat di tiga desa di atas memerlukan sarana sanitasi yang memadai. Sarana sanitasi ini diperlukan agar tingkat kesehatan masyarakat naik sehingga masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya kesehatan yang diakibatkan permasalahan sanitasi yang buruk. 
Melalui anggaran DAK tahun 2011 Pemerintah Kabupaten Tuban bersama Kementrian Pekerjaan Umum melaksanakan program Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat di ketiga desa di atas. Saat ini pembangunan sarana sanitasi di desa Sumber Agung, desa Kaliuntu, dan desa Mrutuk mendekati tahap finishing. Dengan tersedianya sarana sanitasi ini diharapkan taraf kesejahteraan masyarakat dapat meningkat.
»»  Baca Selanjutnya...

Tuban Kota Wali Bukan Kota Tuak


Tidak terbantahkan bahwa Tuban adalah kota wali karena di daerah ini sedikitnya ada 300 makam para Waliyullah, khususnya Sunan Bonang. Namun yang membuat hati kita miris adalah kecenderungan dalam sepuluh tahun terakhir ini bahwa trademark Tuban sebagai kota religi kian tergerus dan punah.

Indikasi yang paling nyata untuk menguatkan asumsi ini adalah makin marak dan ingar-bingarnya tempat-tempat karaoke dan kafe-kafe yang mengeksploitasi wanita-wanita muda, tidak tegasnya aparat untuk menindak warung remang-remang dan tempat-tempat yang terendus sebagai ajang maksiat ada di mana-mana, dibiarkannya budaya ajang minum-minuman toak di pinggir-pinggir jalan dan lain-lain.

Fenomena makin tergerusnya Tuban sebagai ikon kota wali ini bisa disaksikan oleh siapapun yang masuk ke daerah ini. Dari arah Surabaya, orang memasuki Tuban dimanjakan dengan pemandangan pondok besar Langitan, tapi tak lebih seperempat jam setelah itu pasti mereka harus melihat kanan kiri pemandangan yang paradoks, tepatnya di daerah Pakis dan sekitarnya.

Dari arah Semarang, orang mau masuk Tuban dibikin takjub karena disambut deretan pondok-pondok salaf, Pondok Pesantren Sarang, tapi ketika sudah benar-benar masuk daerah Tuban atau bahkan masuk kota Tuban pengendara luar Tuban harus menyaksikan jejalan karaoke dan tempat-tempat sejenis lainnya yang berjajar.

Kami menyambut baik dan senang hati datangnya pimpinan baru Tuban, KH. Fathul Huda. Dan harapan kami  bupati baru ini yang backgroundnya adalah kiai dan pendidik agar menomorsatukan persoalan ini untuk segera dicarikan solusinya, agar tergerusnya trademerk Tuban sebagai kota wali tidak sampai terjadi.

Tentu tidak semata-mata tanggungjawab dan tugas seorang bupati, ini jadi tanggungjawab kita semua. Seluruh elemen masyarakat yang masih menginginkan selamatnya moralitas generasi Tuban ke depan harus cancut taliwondo terhadap masalah ini. Kalangan DPRD Tuban juga harus berusaha sekuat tenaga membantu kalangan ekskutif dalam ikut bahu-membahu melaksanakan tanggung jawab ini secara bersama-sama.

»»  Baca Selanjutnya...

Tuban dalam Strategi politik Raja-raja Trah Erlangga


            Tuban dikenal sebagai kota tua di bumi Nusantara. Hal itu bisa dibuktikan dari usianya yang sudah mencapai tujuh ratus tahun lebih. Jika dibandingkan dengan kota atau kabupaten lain di Indonesia, usia itu tegolong jauh di atas rata-rata. Bahkan lebih tua daripada Jakarta atau Surabaya sekalipun. Usia Tuban diambil dari pengakuan resmi Kerajaan Majapahit terhadap Kadipaten Tuban dengan melantik Raden Arya Ronggolawe sebagai Adipatinya (1293 M).
Sedangkan nama Tuban sendiri dikukuhkan kurang lebih 20 tahun sebelumnya oleh Ki Ageng Papringan alias Raden Aryo Dandang Wacana (Kakek Ronggolawe). Beliau menamakan kampung yang dibangunnya sebagai Tuban, yang berasal dari kata meTU-BANyune, setelah sekian lama air tawar sulit didapatkan di daerah pantai. Kampung itu kemudian menjadi kota kecil dan Ki Ageng Papringan bertindak sebagai pemimpinnya (R. Soeparmo, 1971: 42).
Tetapi ternyata banyak di antara kita yang tidak menyangka bahwa cikal bakal Tuban sebenarnya sudah ada jauh sebelum tahun kelahiran itu sendiri. Dalam sejarah Lamongan dapat kita baca bahwa pada tahun 1041 Prabu Erlangga pernah mengadakan perjalanan dari ibu kota kerajaan Kahuripan menuju pelabuhan Kambang Putih, di mana letak pelabuhan tersebut ditengarai berada di antara pantai Boom sampai dengan Klenteng Kwan Sing Bio. Sedangkan tahun 1041 dapat dibuktikan dari petilasan beliau saat beristirahat di desa Pamotan kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan. Pada jaman itu Kambang Putih ditetapkan sebagai pelabuhan antar negara, sedang untuk pelabuhan antar pulau Erlangga menggunakan Canggu yang terletak di tepi sungai Brantas (Poerwadhie Atmodihardjo, 1984: 51)
Prabu Erlangga memerintah Kerajaan Kahuripan dari tahun 1019 - 1042 masehi. Perjuangannnya membangun negeri dari reruntuhan kerajaan Medang yang hancur akibat serangan musuh (1007) mendapat dukungan penuh dari para pemuka agama. Kecintaan para brahmana kepada pemuda asal Bali ini tergambar dalam kitab Arjunawiwaha, di mana Erlangga diidentikkan sebagai Sang Arjuna jagonya para dewa yang berhasil membunuh raja raksasa Niwatakawaca. Bahkan oleh para kawula, raja muda ini diyakini sebagai titisan Batara Wisnu yang hadir ke tengah dunia untuk menata kehidupan umat manusia. Tidak heran jika kemudian Erlangga dipuja dan dicintai oleh rakyatnya.

Dari Kerajaan Jenggala Hingga Pajajaran

Selama 23 tahun dalam pemerintahannya kerajaan Kahuripan telah mengalami kejayaan. Namun sebagai seorang raja agung Erlangga waskito ing paningal. Dalam pandangannya dunia adalah waktu yang senantiasa berjalan. Seiring dengan kehendak jaman maka yang baru lahirpun akan beranjak dewasa dan yang tua harus mendapatkan tempatnya di alam baka. Dan Erlangga sadar sepenuhnya akan hal itu. Maka setelah berhasil membujuk putri sulungnya Dewi Kilisuci untuk menjadi seorang biksuni, pada tahun 1042 beliau lantas membagi kerajaan Kahuripan menjadi dua. Putranya yang lebih tua Raden Jayanegara mendapatkan Kediri sedang yang muda Raden Jayengrono memperoleh Jenggala.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, untuk mengukuhkan kebijaksanaan itu Erlangga meminta Mpu Baradha untuk mengadakan upacara suci besar-besaran di lapangan mayat Wurare (sekarang bernama Surabaya). Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1045. (C.c. Berg dalam Goenawan, 1974: 39). Selanjutnya sang raja agung lantas lengser keprabon menjadi seorang brahmana di pertapaan Kapucangan dengan nama Resi Gentayu.
Itulah keadilan, untuk harga sebuah keadilan Erlangga rela mengorbankan keutuhan negara yang telah susah payah dibangunnya. Dan sebenarnyalah sebagai manusia pilihan dia tahu benar, dalam pandangan batinnya sudah tergambar bahwa antara kedua anaknya tidak akan bisa hidup berdampingan. Mantra-mantra sakti Mpu Baradha walau seberapapun ampuhnya hanyalah sekedar usaha manusia, sedangkan takdir adalah kehendak sang Pencipta yang hanya dapat berubah atas ijin sang Pencipta sendiri.
Oleh karena itu Resi Gentayu tetap yakin bahwa akan ada satu di antara dua anaknya yang pasti menang, dan bagi yang kalah mati atau lari sebagai konsekwensinya. Keyakinan itu semakin diperkuat dengan ketidak sempurnaan Mpu Baradha saat melakukan tugas besar itu. Meskipun mantra-mantra suci sudah terloncat dari mulut sang mpu, namun tak urung jubah yang dia kibarkan tersangkut pada sebuah pohon asam kate (kamal pandhak). Ini adalah sebuah firasat kegagalan.
Tetapi di manapun tidak ada raja agung yang tanpa mewariskan strategi politik kepada anak turunnya. Tidak terkecuali Erlangga yang melalui sasmito gaibnya telah membisikkan wasiat kepada siapa yang akan tersisih. Demikianlah, waktu silih berganti. Raja Jenggala pertama digantikan oleh putranya Prabu Anom Kertopati dan kemudian Prabu Mahesa Tandreman sebagai raja ketiga. Apa yang dikhawatirkan Resi Gentayu ternyata terbukti. Terjadi perselisihan hebat antara Kediri dan Jenggala. Dan buah dari perselisihan adalah pelarian diri. Saat itu di awal abad ke-12, Prabu Mahesa Tandreman atau Kuda Lalean terpaksa harus melarikan diri ke barat untuk menghindari serangan Kediri. Dicarinya daerah yang sama sekali tidak terjangkau oleh pengaruh saudaranya. Maka pada sebuah dataran tinggi di Jawa Barat (sekarang: dekat Bogor) dia dirikan sebuah kerajaan yang dia beri nama Pajajaran.
Di Kerajaan Pajajaran, setelah Prabu Tandreman wafat digantikan putranya Prabu Banjaransari. Dalam diri Prabu Banjaransari inilah mengalir keagungan darah Erlangga. Beliau adalah seorang raja yang gemar sekali bertapa. Tidak heran jika sang prabu merasakan bahwa Kerajaan Pajajaran tidak akan dapat berdiri lama, sementara sang rajapun sadar akan kewajibannya untuk mengembalikan kejayaan darah leluhur. Baginya Kerajaan Pajajaran boleh saja runtuh, tetapi keturunan Erlangga tidak akan mudah lenyap begitu saja. Oleh karena itu demi menjunjung pesan leluhur, Prabu Banjaransari segera bergerak trengginas.
Ada dua langkah strategis yang dia terapkan dalam usianya yang tidak lagi muda itu. Pertama mengangkat putranya Mundhingsari sebagai putra mahkota yang kelak menggantikannya sebagai raja Pajajaran. Kedua menugaskan Raden Matahun (putra dari garwo selir) untuk mengadakan penyelidikan ke wilayah timur. Guna membantu misi itu sang raja segera mengirimkan beberapa telik sandi. Saat itu Jawa Timur sedang dikuasai oleh Kerajaan Singosari dengan rajanya Ken Arok yang menghancurkan Kediri pada tahun 1222. Meskipun Raden Matahun gagal melakukan tugas ekspedisi, namun tugas itu disanggupi oleh anaknya, yaitu Raden Randu Kuning.
Ketika Raden Randu kuning siap melaksanakan tugasnya, kejayaan Pajajaran sudah semakin berkurang. Suksesi kepemimpinan telah berlangsung beberapa kali. Prabu Banjaransari digantikan Prabu Mundhingsari, kemudian Prabu Mundhingwangi, dan yang terakhir Prabu Sri Pamekas. Raja yang terakhir ini memiliki tiga anak, yakni Raden Susuruh, Raden Arya Bangah, dan Raden Siyung Wanara yang dibuang oleh raja karena lahir sebagai anak yang aneh dan menakutkan. Dalam cerita rakyat kita mengetahui bahwa riwayat kerajaan Pajajaran berakhir karena dihancurkan oleh Siyung Wanara yang merasa dendam kepada ayah dan saudara-saudaranya. Sri Pamekas gugur di dalam penjara, sementara Raden Susuruh dan arya Bangah lari ke wilayah timur (C.c. Berg dalam Goenawan, 1974: 116).

Ekspedisi Kambang Putih

Atas ijin Prabu Sri Pamekas, pada sekitar tahun 1225 Raden Randu kuning melaksanakan tugasnya melanglang buwana ke arah timur. Hal ini sebagai reaksi atas hancurnya kerajaan Kediri karena perbuatan Ken Arok. Bagi mereka tujuan utama ekspedisi ini adalah pelestarian darah Erlangga. Meskipun mereka tidak dapat melupakan penghinaan para bangsawan Kediri terhadap Jenggala lebih dari seabad yang lalu, namun kehancuran Kediri berarti ancaman terhadap eksistensi trah Kahuripan. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan. Begitulah, Raden Randu kuning meninggalkan Pajajaran. Setumpuk strategi telah dia emban dari sang eyang Prabu Banjaransari swargi.
Tidak jelas, apakah satria Pajajaran ini dalam perjalanannya melewati darat atau laut, tetapi sejarah menerangkan bahwa Raden Randu Kuning menjadikan daerah sekitar pelabuhan Kambang Putih sebagai sasaran pertama. Mengapa harus ke Kambang putih, tidak ke Kediri, Canggu, atau langsung menembus jantung kota Singosari ? Hal ini menunjukkan kecerdasan politik tingkat tinggi dalam diri generasi Erlangga, terutama Prabu Bajaransari sebagai perumus ekspedisi dan Raden Randu Kuning sebagai pelaksananya.
Sebagai negara baru, Singosari masih dalam tahap konsolidasi. Apalagi Ken Arok yang semula hanya sebagai hamba sahaja lantas madeg suraning driyo jumeneng noto. Tentu saja konsentrasi pengawasan teritorial masih dalam kondisi lemah, sehingga masuknya Raden Randu Kuning ke daerah Kambang Putih tidak sempat terdeteksi oleh petugas sandi Singosari. Di samping itu Singosari seperti layaknya kerajaan lain tidak dapat hidup tanpa kerja sama dengan negara-negara tetangga, sedangkan posisi Kambang Putih sebagai pelabuhan antar negara saat itu jelas memiliki peranan yang sangat dominan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Tan Khoen Swie (1936) dalam Serat Babat Toeban bahwa Raden Randu Kuning memulai tugasnya dengan cara membuka hutan Srikandi (wilayah Kecamatan Jenu), yang kemudian dia bangun sebuah perkampungan ramai dengan nama Lumajang Tengah. Letak hutan Srikandi kurang lebih 10 Km sebelah barat pelabuhan Kambang Putih. Pada saat itu lalu lintas kapal memang lebih banyak yang melewati jalur barat. Para pedagang dari Sriwijaya, Kamboja, serta negara-negara besar lainnya lebih suka menggunakan selat Malaka, karena di samping aman juga lebih banyak tempat yang dapat disinggahi. Dengan demikian kampung Lumajang Tengah (Srikandi) merupakan tempat yang amat strategis untuk maksud pengintaian.
Kampung Lumajang Tengah semakin ramai dan Raden Randu Kuning sendiri lebih suka mengunakan nama Ki Gedhe Lebe Lodhang. Untuk melanjutkan obsesinya Ki Gedhe merasa perlu memahami keadaan daerah sekitar, sehingga dia minta kepada para pengikutnya untuk mencari tempat lain yang lebih memungkinkan didirikannya sebuah kampung baru. Demikianlah, ketika 15 tahun kemudian Raden Arya Bangah menyusul ke Lumajang Tengah, oleh Ki Gedhe anak Sri Pamekas itu disarankan agar pergi ke arah tenggara.
Raden Arya Bangah yang merupakan cucu keponakan Ki Gedhe Lebe Lodhang segera melaksanakan perintah sang kakek. Setelah melakukan perjalanan beberapa hari dia menemukan tempat yang cukup strategis, yaitu hutan yang di kanan kirinya terdapat sumber air kecil-kecil. Hutan itu bernama hutan Gumenggeng (sekarang menjadi Desa Banjaragung Kecamatan Rengel). Di Kampung Gumenggeng inilah Raden Arya Bangah melatih para pengikutnya menjadi petani-petani yang ulet sehingga kehidupan mereka menjadi makmur.
Ki Arya Bangah memiliki seorang putra yang dia beri nama Arya Dandang Miring. Sebagai sesama darah Kahuripan semangat pemuda ini untuk menjunjung darah Erlangga juga sangat tinggi. Tidak berbeda dengan ayahnya, Ki Dandang miring setelah dewasa juga bercita-cita membangun perkampungan baru. Hal ini dimaksudkan untuk semakin memperkuat dan memperbanyak para pengikut. Akhirnya pemuda itu pergi ke arah barat dan membuka perkampungan di hutan Ancer-Ancer (kira-kira di Kecamatan Bancar).
Akhirnya Ki Dandang Miring juga mempunyai seorang putra yang diberi tetenger Arya Dandang Wacana. Sejak kecil kecerdasan Dandang Wacana sudah nampak jelas, bahkan keuletan dalam menimba ilmu juga tidak kalah dengan ayah atau kekeknya. Setelah menginjak dewasa atas prakarsanya sendiri Ki Dandang Wacana melakukan napak tilas perjalanan ayah serta kakeknya. Dengan petunjuk Yang Maha Kuasa akhirnya dalam perjalanan itu dia menemukan tempat yang amat cocok untuk mendirikan pesanggrahan.
Di sebuah hutan yang diberi nama hutan Papringan dia jumpai sumber air yang semula kecil, tetapi ketika para pengikutnya melakukan penggalian lebih lanjut ternyata sumber air itu luar biasa besarnya. Ki Dandang Wacana meminta para pengikutnya mendirikan perkampungan di sekitar sumber air tersebut, dan dia sendiri akhirnya terkenal dengan nama Ki Ageng Papringan. Kampung tersebut diberi nama Tuban yang merupakan penyederhanaan dari kata meTU-BANyune (sekitar tahun 1270).
Ki Ageng sendiri mendirikan rumah di dekat sumber air dan pada bulan-bulan tertentu mengundang para penduduk. Karena banyaknya orang yang datang sebagai tanda kesetiaan (bekti) kepada Ki Ageng, maka tempat pesanggrahan itu kemudian dinamakan Bektiharjo. Sedangkan Kampung Tuban semakin banyak penduduknya sehingga menjadi desa yang tergolong ramai dan besar.
Akan tetapi ternyata Ki Ageng Papringan tidak gegabah untuk menyatakan diri bahwa Tuban sebagai sebuah kadipaten baru. Terlalu berbahaya bagi keselamatan dia dan pengikutnya, karena hal itu bisa mengundang kecurigaan para telik sandi Singosari. Meskipun demikian misi ekspedisi yang dicita-citakan Prabu Banjaransari untuk tahap pertama dapat dikatakan berhasil, sebab sejak saat itu daerah sekitar Kambang Putih secara praktis sudah dikepung oleh generasi trah Erlangga.
»»  Baca Selanjutnya...

Pemanfaatan Air Laut untuk Kemakmuran Petani Tuban


Kalau Tuban ingin rakyatnya makmur? Apa kuncinya? Bangunlah pengairan untuk tanah-tanah pertanian di Tuban. Hektaran sawah di wilayah ini masih mengandalkan tadah hujan untuk tanah pertanian. Banyak tanah-tanah yang sebenarnya bisa ditingkatkan produktifitasnya, namun menjadi kurang produktif akibat kurangnya air.
Apalagi pengembangan potensi pertanian di Kabupaten Tuban sebenarnnya juga didukung adanya lahan pertanian yang luas dan juga penduduk yang banyak. Luas lahan sawah yang ada di Kabupaten Tuban mencapai 55.371,932 Ha dan luas lahan tegalan yang mencapai 55.229,844 Ha, luas lahan pekarangan 15.524,075 Ha, luas ladang 61.000 Ha. Dari seluruh lahan persawahan yang ada sekitar 53% atau 29.299,405 Ha bisa diusahakan irigasinya baik dari irigasi teknis maupun sederhana. Sedangkan 47% atau sekitar 26.064,827 Ha merupakan lahan sawah yang tadah hujan.
Tuban sebagai daerah yang tanahnya cenderung berkapur dan lahan-lahannya kering bisa ditingkatkan kalau ada pengairan. Coba anda bayangkan, bila petani hanya mengandalkan air dari musim maka mereka hanya bisa panen sekali dalam setahun. Ini tentu juga membantu menurunnya produktifitas panen padi karena musim hujan yang hanya sekali setahun. Itupun belum pasti arah musimnya sehingga kadang petani mengalami kesulitan dalam memprediksi musim yang tepat untuk tanam.
Mengapa pemerintah tak berusaha keras membantu orang-orang desa ini untuk bagaimana meningkatkan kesejahteraannya dengan membangun mega proyek pengairan yang menjadi nafas utama untuk bercocok tanam? Proyek pengairan dengan mencari akses baru yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan pertanian secara menyeluruh.
Tuban sebagai daerah yang termasuk kategori wilayah gersang bisa menjadi wilayah yang hijauroyo-royo dan makmur apabila para pemikir, anggota DPR dan pemerintah daerah mau serius membantu mereka meningkatkan kesejahteraannya. Pemerintah baik ekskutif maupun legeslatif perlu berpikir sebagai pejuang untuk rakyatnya apabila ingin merealisasikan kemakmuran seluruh rakyat Tuban yang mayoritas bertani. Marilah kita untuk secara tulus memikirkan orang-orang kecil seperti para petani kita untuk meningkatkan kesejahteraannya bila kita ingin segera memakmurkan seluruh masyarakat yang mayoritas hidupnya mengandalkan dari sektor pertanian. Sekarang yang dibutuhkan bukan retorika tetapi bagaimana kita melakukan tindakan nyata untuk mewujudkan impian para petani di wilayah iniagar hidupnya lebih makmur.
Kalau anda lihat, limpahan air laut yang ada di utara kota Tuban ini bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk menjadi sumber mata air yang penting bagi pembangunan dunia pertanian kita. Betapa luar biasanya bila kita bisa memanfaatkan air laut untuk irigasi. Air laut yang tak ada habisnya bisa kita rubah menjadi air tawar dan kita bangun bendungan untuk kita alirkan ke tanah-tanah pertanian yang gersang. Mega proyek ini akan menjadi mercusuar pembangunan pertanian di wilayah ini dan akan memberikan kontribusi yang sangat positip untuk segera mengangkat kesejahteraan para petani yang sebenarnya menjadi mayoritas di wilayah ini.
Teknologi osmosis bisa menjadi alternatif. Teknologi ini bisa kita adopsi dari teknologi pengubahan air laut menjadi air tawar seperti yang sudah diterapkan di perusahaan TPPI Tuban. Kita bisa belajar dari sana untuk kita aplikasikan pada skala yang lebih besar yaitu mengubah air laut menjadi air tawar kemudian kita alirkan untuk irigasi pada sawah-sawah yang sekarang ini mengandalkan tadah hujan.
Sebenarnya teknologi osmosis ini juga tidak terlalu rumit. Reverse osmosis atau osmosis terbalik merupakan proses yang ditempuh secara umum untuk mengubah air laut menjadi air tawar. Caranya dengan mendesakkan air laut melewati membran-membran semipermeableuntuk menyaring kandungan garamnya. Kandungan garam yang tersaring disisihkan. Sebagian air laut digunakan untuk melarutkannya.
Keunggulan teknologi osmosis balik merupakan kecepatan proses pengolahan dalam memproduksi air bersih. Teknologi ini menggunakan tenaga pompa sehingga bisa memaksaproduksi air keluar lebih banyak. Secara proses, sistem pengolahan osmosis ini menggunakan membran sebagai pemisah air dengan pengotornya. Pada proses dengan membran, pemisahan air dari pengotornya didasarkan pada proses penyaringan dengan skala molekul.Hal ini dilakukan karena di dalam proses desalinasi air laut dengan sistem osmosis balik, tidak memungkinkan untuk memisahkan seluruh garam dari air lautnya. Karena akan membutuhkan tekanan yang sangat tinggi.
Namun, pada praktiknya untuk menghasilkan air tawar, air asin atau air laut dipompa dengan tekanan tinggi ke dalam suatu modul membran osmosis balik yang mempunyai dua buah pipa keluaran, yakni pipa keluaran untuk air tawar yang dihasilkan dan pipa keluaran untuk air garam yang telah dipekatkan.
Kemudian di dalam membran osmosis balik tersebut terjadi proses penyaringan dengan ukuran molekul. Yaitu pemisahan partikel yang molekulnya lebih besar dari pada molekul air.
Betapa hebatnya bila aplikasi pengubahan air laut menjadi air tawar ini nantinya bisa digunakan untuk pengairan di ribuan hektar sawah di wilayah Tuban. Tentu Tuban akan menjadi daerah yang subur makmur. Rakyat pun akan tersenyum. Apakah pemerintah daerah tak juga pernah memikirkannya untuk memakmurkan para petani yang selama ini selalu menderita karena kekurangan air ketika musim tanam tiba akibat sulitnya memprediksi musim yang selalu berubah? Ini menjadi PR besar pemerintah Tuban untuk segera mewujudkannya. Semoga!
»»  Baca Selanjutnya...

AIDS di Tuban, Jatim, karena Prostitusi Marak


Prostitusi (pelacuran) tetap saja menjadi ‘kambing hitam’ penyebaran HIV. Lihatlah judul berita ini: “Prostitusi Tuban Marak, Angka Pengidap HIV/AIDS Naik. Aktivis HTI Was-was Perda Hiburan Malam Buka Praktek Pelacuran”.

Ada fakta yang digelapkan terkait dengan HIV/AIDS dan prostitusi (pelacuran) yaitu: yang menularkan HIV kepada pekerja seks komersial (PSK) di ranah prostitusi di Tuban justru laki-laki ‘hidung belang’ bisa penduduk Tuban, pendatang, atau yang sekedar mampir. Selanjutnya ada pula laki-laki dewasa, penduduk Tuban atau pendatang, yang tertular HIV dari PSK yang ditulari penduduk (Tuban dan pendatang) tadi.

Fakta itulah yang sering luput dari perhatian sehingga yang menjadi ‘sasaran tembak’ hanya PSK sedangkan laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan yang tertular HIV dari PSK luput dari perhatian. Tapi, mereka itu justru menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dikabarkan Pemkab Tuban membuka kran iklim investasi di bidang industri. Ada kekhawatiran keterbukaan juga terjadi di bidang bisnis hiburan malam. Perda hiburan malam sedang digodog oleh DPRD Tuban.

Lalu, apa kaitannya dengan HIV/AIDS?
Menurut Hanif Adnan, Ketua Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Tuban, membuka kran investasi di bidang hiburan malam akan semakin membuka peluang yang berakibat pada merendahnya moral warga masyarakat.

Lalu, apa pula kaitan hiburan malam dengan penyebaran HIV/AIDS?
Masih menurut Hanif, semakin marak praktek PSK di kawasan jalur pantura …. berkaitan dengan semakin tingginya angka pengidap virus HIV/Aids. Tahun 2010 kasus kumulatif HIV/AIDS di Tuban dilaporkan 51, sedangkan sampai Juli 2011 jumlahnya bertambah menjadi 51.

Biar pun ada praktek PSK di wilayah Tuban kalau laki-laki dewasa penduduk Tuban tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK di jalur pantura atau di tempat lain di muka bumi ini maka tidak ada risiko penularan HIV. Maka, kuncinya bukan pada PSK, tapi pada laki-laki dewasa penduduk Tuban.

Sekarang, ketika belum ada perda hiburan malam:
(1) Apakah ada yang bisa menjamin bahwa di Tuban tidak ada praktek pelacuran?
(2) Apakah ada yang bisa menjamin bahwa tidak ada laki-laki dewasa penduduk Tuban yang melacur di Tuban atau di luar Tuban?

Kalau jawabannya BISA DIJAMIN, maka tidak ada masalah terkait dengan penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual dengan PSK.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA DIJAMIN, maka ada persoalan besar di Tuban yaitu ada laki-laki dewasa yang berisiko tertular HIV. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV dengan bukti kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga.

Pemprov Jatim sendiri sudah menelurkan peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, perda itu tidak menawarkan cara-cara penanggulangan yang konkret ( Lihat : http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/21/menyibak-kiprah-perda-aids-jatim/ ).

Di negara-negara yang tidak ada praktek pelacuran dan hiburan malam pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Arab Saudi, misalnya, sudah melaporkan lebih dari 15.000 kasus AIDS.
Penutupan lokasi atau lokalisasi pelacuran membuat penyebaran IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.) dan HIV tidak bisa dikontrol.

Jika Pemkab Tuban ingin memutus mata rantai penyebaran HIV, maka dalam perda hiburan malam perlu ada pasal yang mengatur kewajiban memakai kondom bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Thailand sudah membuktikan program serupa, yaitu ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir menurunkan insiden infeksi HIV baru.

Pilihan ada di tangan Pemkab Tuban:
(a) memutus mata rantai penyebaran HIV dengan program seperti di Thailand atau
(b) membiarkan praktek-prektek pelacuran terjadi tanpa pengawasan.

Kalau yang dipilih (b), maka Pemkab Tuban tinggal menunggu ’panen AIDS’ karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS.
»»  Baca Selanjutnya...

Sapi Perah Tuban, Trik Membuka Lahan Pekerjaan

Beberapa desa di Kabupaten Tuban saat ini sedang mengalami masa-masa nikmatnya memelihara sapi perah bantuan lunak dari Bupati baru mereka H.Fathul Huda. Termasuk di desa saya Kedungjambe, Singgahan Tuban.

Beberapa peternak yang saya temui mengaku bahagia dan senang mempunyai aktifitas baru ini. Bapak Syakir misalnya, dia mengungkapkan bahwa dua sapi yang dikirim ke tempatnya merupakan sapi yang sehat, gemuk dan keduanya sedang hamil besar. Apalagi, untuk memperoleh bantuan ini, kata mereka tidaklah sulit. Mereka biasanya mengajukan diri sesuai kesanggupan dalam memelihara sapi.

Untuk penjualan dan pemasaran susu, dari pihak kabupaten sudah siap menyalurkan ke beberapa pabrik yang telah meneken bekerjasama. Hal ini untuk memudahkan para petani agar tidak bersusah payah mencari pembeli.

Hanya kesulitan yang sedikit dialami adalah rumput sebagai pakan ternak tidak seimbang dengan banyaknya jumlah sapi yang dimiliki oleh peternak. Untung saja sekarang sudah ada pengusaha rumput baru, yang berarti juga membuka lapangan pekerjaan tersendiri bagi orang desa. Lahan-lahan yang kosong dan tidak produktif bias ditanami rumput.

Mereka juga gembira ketika mendengar bahwa KAPAL JATIM (Kenduri Agung Pengabdi Lingkungan Jawa Timur) akan mengirim mereka tabung bio gas yang berfungsi menjadikan kotoran sapi menjadi gas. Dari gas itu kemudian bisa dijadikan untuk memasak.

Semoga Bupati Tuban yang baru ini juga bisa membuka lahan-lahan pekerjaan baru bagi orang desa, agar mereka tidak susah payah bekerja di kota-kota besar yang populasi penduduknya serta kondisi lingkungan yang sudah tidak memenuhi syarat untuk hajat hidup.
»»  Baca Selanjutnya...

Mantan Bupati Tuban, Kini Menjadi Seorang Milyader


Kabupaten Tuban, adalah salah satu kabupaten di Jawa Timur yang masyur akan tempat makam para wali sehingga mendapat julukan kota wali. Orang kebanyakan juga menyebut Tuban sebagai kota tuak. Selain itu, Tuban juga di kenal dengan kota seribu goa, di antara lain Goa Ngerong, Goa Akbar, Goa Putri Asih dan masih banyak lagi. Sebelah utara langsung terhampar luas Laut  Jawa, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Lamongan, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Rembang, Blora Jawa Tengah, Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro.

Dua periode Haeny Relawati Rini Widyastuti menjadi Bupati Tuban secara berturut-turut. Inilah profil Haeny Relawati Rini Widyastuti .
  • Lahir : 20 Juni 1964, di Tuban Jawa Timur

  • Suami : H. Ali Hasan ( Almarhum ) Meninggal pada tanggal 5 Agustus 2011.

  • Almamater : Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

  • Karier : Ketua Himpunan Wanita Karya Tuban, Wakil Ketua DPD II Tuban dari partai GOLKAR (1992), Ketua DPD II Tuban dari partai GOLKAR ( 1999 ), Ketua DPRD Tuban Tahun 1999-2000, dan yang terakhir menjadi Bupati periode 2000 - 2011.

Beberapa hari yang lalu, salah satu media di Indonesia  mengupdate sejumlah kekayaan Haeny yang bisa membuat kita tercengang, kagum  sekaligus heran. Dimana seorang mantan Bupati yang menjabat selama 10 tahun kini bisa di katakan salah-satu orang terkaya di Tuban. Inilah beberapa di antaranya :

  • Harta tidak bergerak berupa 176 bidang tanah.dan bangunan yang julah totalnya Rp. 52, 4 milyar. Bidang tanah itu tersebar di sejumlah kota, antara lain. Antara lain Magetan ( Madiun ), Bojonegoro , Malang, Banjarnegara, Klaten, Sukoharjo, Surabaya, Lamongan, Sleman, Pasuruan, dan Temanggung.

  • Harta bergerak mantan Bupati Tuban tersebut berjumlah total Rp. 7, 5 milyar. Harta tersebut berupa 34 mobil. Dua diantaranya kendaraan mewah yaitu, Mercedes-Benz 2001 seharga Rp 1,2 miliar dan Hummer 2004 (Rp 1,4 miliar). Selain mobil, masih ada sembilan ekor kuda Sumbawa sebagai tunggangan, dimana setiap ekornya di banderol Rp. 60 jutaan ( pada tahun 2006 ) karena jenis kuda tersebut tinggi dan besar. Ada juga emas dan batu perhiasan sejumlah Rp. 900 juta.

  • Usaha yang terbesar adalah SPBU yang tersebar di sejumlah wilayah. Mulai dari Bulu (perbatasan Tuban-Rembang) hingga Banyuwangi.

Harta yang bermilyar-milyar tersebut. Bukan hanya dari usaha Haeny sebagai Bupati Tuban. Bisa juga di dapat dari usaha sang suami H. Ali Hasan ( Almarhum ) yang mengelola sebuah perusahaan swasta. Akan tetapi Haeny sendiri yang menjadi Dirut perusahaan tersebut. Namun setelah Haeny berkecimpung di dunia  politik, akhirnya  jabatan direktur tersebut di tinggalkan.



»»  Baca Selanjutnya...

Bupati Tuban Mengeluh

Bupati Tuban Fathul Huda mengeluhkan pembagian beras bagi warga miskin (raskin). Sebab, banyak ditemukan yang menerima jatah raskin tidak hanya warga miskin saja, tapi, warga yang mampu juga menerima raskin. Bahkan, tidak sedikit PNS yang juga menerima jatah bagi warga yang kurang mampu itu.

Informasinya, meski masing-masing warga miskin mendapatkan jatah raskin 15 kg per bulan. Namun, kenyataannya warga miskin hanya menerima maksimal 7,5 kg. Bahkan, di Desa Talangkembar  kepala keluarga (KK) miskin hanya menerima 4 kg.

Kepala Desa talangkembar, Kecamatan Montong Edy Mulyono membenarkan jika jatah raskin di desanya dibagi secara merata. Pembagian secara merata itu agar tidak menimbulkan masalah. Meski begitu ada sebagian warga yang mampu dan PNS di desanya tidak mau menerimanya.

Tidak diterimanya secara untuh raskin itu karena oleh desa raskin itu dibagi secara merata, baik warga tergolong mampu maupun PNS.  “Jadi hampir semua masyarakat menerima, tidak peduli orang mampu atau tidak. Mekanisme ini sudah tidak benar. Masak jatahnya orang miskin kok diberikan kepada mereka yang tidak berhak,” tegas Bupati Tuban Fathul Huda.

Bagi warga yang mampu dan masih menerima raskin sebetulnya tidak untuk dimasak.Tapi, digunakan untuk buwoh(menyumbang orang yang punya hajat-Red). “Berarti mereka yang selalu gembar-gembor raskin jelek, ya orang-orang yang tidak butuh itu. Karena dibandingkan dengan beras yang setiap harinya mereka masak,” tutur Bupati Huda setelah mendapatkan laporan dari  warga masyarakat beberapa waktu lalu
»»  Baca Selanjutnya...