Senin, 30 Januari 2012

Sang Pemberdaya yang Tak Berdaya

Secara sederhana, bila kita mengacu kata pemberdayaan (empowering) selama ini adalah sebuah proses untuk menguatkan serta mendayagunakan agar apa yang sebelumnya tidak berdaya menjadi berdaya. Berdaya dapat bersifat individual maupun juga bersifat tatanan sosial kemasyarakatan. Dapat pula disebut sebagai kemandirian, membangun potensi yang dimilikinya, mengidentifikasi masalah serta sanggup menemukan problem solving-nya sendiri yang mungkin berasal dari dalam diri maupun yang ada di luar diri. Kalau meminjam kata Bung Karno adalah “Berdikari”. Suatu manifesto yang berarti “berdiri di kaki sendiri”. Yaitu suatu kesanggupan dan juga etos untuk dapat menggerakkan, membangkitkan semangat juang untuk maju secara kolektif dan “gagah” dalam menghadapi masalah. Masalah bisa macam-macam, bisa masalah pribadi ataupun masalah sosial yang peta persoalannya mungkin juga adalah kombinasi dari keduanya. Bisa datang dari internal masyarakat namun juga ada yang dari faktor-faktor eksternal di luar masyarakat.
 
Term pemberdayaan, menjadi populer ketika dalam sebuah survei dan penelitian ilmiah yang di dasarkan pada Human Development Index (HDI) menampilkan bahwa index manusia Indonesia rata-rata masih tergolong menengah di antara negara-negara lain di dunia. Masih jauh di bawah negara-negara maju di eropa dan Amerika. Namun sedikit lebih baik di atas negara-negara Afrika yang hanya memilki lautan gurun pasir saja. Bandingkan dengan Indonesia, yang memiliki sumber daya yang melimpah ruah namun masih saja miskin. Bahkan masih kalah dengan negara serumpun Malaysia dan ironisnya kalah juga dengan negara “kecamatan” Singapura.

Dari itulah, di tarik benang merah penyebab masalahnya. Dan salah satu yang menjadi faktor (katanya) adalah ketidakberdayaan masyarakat Indonesia yang mencakup ketidakberdayaan ekonomi, sosial dan politik. 30 Tahun di bawah rezim yang represif, membuat masyarakat Indonesia, gagal dalam menghadapi arus modernisasi yang datang menyerbu bagai air bah bergulung-gulung. Rakyat Indonesia, tidak benar-benar bisa memahami, mengetahui keunggulan sumber daya lokal maupun potensi yang luar biasa ini. Untuk itulah maka, diperlukan pendobrak kejumudan cara berpikir masyarakat untuk membawa masyarakat indonesia menjadi kondisi masyarakat yang berdaya.

Maka disebarlah, orang-orang pilihan. Mempunyai kualifikasi dan pengalaman dalam hal pemberdayaan masyarakat. Strategi ulung yang mampu mengakomodir semua pihak, mampu diterima di semua tingkatan dan golongan serta selalu aktif mencurahkan energi, fikiran untuk masyarakat, sanggup menjadi pelayan masyarakat. Mempunyai ketrampilan teknis dan pengetahuan yang dapat di berikan untuk kemajuan masyarakat. Bahkan kalau perlu pantang makan bila rakyat belum makan. Tidak akan bisa tidur nyenyak bila masyarakat belum memperoleh hak-haknya. Pokoknya segala yang memenuhi arasy otaknya adalah tentang masyarakat. Mereka menyandang amanah selayaknya wali atau nabi utusan Tuhan yang bertugas membawa manusia dari jaman jahiliyah atau kebodohan menuju jaman “kepintaran”. Sehingga idealnya seorang pemberdaya masyarakat adalah seorang yang memang benar-benar berdaya dan sanggup mengatasi segala ketidakberdayaan. Karena tidak logis apabila seorang yang tidak berdaya akan sanggup mengatasi ketidakberdayaan di luar dirinya. ”Ngurus awake dewe wae gak iso kok meh ngurus wong liyo”.

Pemberdaya masyarakat menyandang amanah yang sangat berat. Di serang dari bawah dan di tekan dari atas. Kondisi masyarakat yang masih mualaf dalam hal demokrasi, merupakan tantangan yang tidak ringan. Cerita tentang seorang fasilitator yang di intervensi, di ancam baik secara verbal maupun fisik, sudah merupakan makanan sehari-hari yang harus dihadapi. Seorang pemberdaya masyarakat sesuai dengan yang telah di amanahkan oleh MDGS (Milenium Development Goals) harus dapat mengurangi kemiskinan di wilayah tugasnya masing-masing. Meskipun agak sedikit kurang masuk akal, bagaimana mungkin hanya dengan pemberian bantuan 1 milyar s.d 3 milyar, dapat langsung mengubah masyarakat menjadi berdaya. Lha wong yang tiap tahun diberi dana bantuan saja belum tentu masyarakatnya tiba-tiba menjadi sejahtera. Namun karena itu sudah merupakan tugas dan tanggung jawabnya, pemberdaya masyarakat mau tidak mau tetap harus sanggup dan siap dalam melaksanakan tugas mulia ini.

Mungkin karena dirasa sebagai seorang yang harus multi talented, agent culture of change, pendekar mumpuni yang sanggup menguasai segala bidang, maka seorang pemberdaya merasa kelelahan. Capek. Melihat realita yang di jumpai di lapangan ternyata njomplang dan seringkali malah bertabrakan dengan teori-teori pemberdayaan baku. Belakangan baru di ketahui bahwa tidak semudah dan segampang yang tercantum dalam buku teknis dan pedoman. Teori pemberdayaan terkadang dirasa tidak relevan lagi di hadang keruwetan kondisi masyarakat.

Banyak faktor seperti faktor struktural, kultural, birokratis serta faktor-faktor yang tidak akan terlacak oleh ilmu-ilmu sosial karena memang akan sangat sulit di identifikasi. Namun jelas, bahwa permasalahan yang menghadang akan sangat complicated. Anda akan mendapati 10 persen yang dilaporkan dan di umumkan dan menyimpan 90 persen hal-hal yang tabu untuk di ungkapkan kepada publik.

Dalam situasi seperti itu yang berlangsung selama bertahun-tahun, membuat nilai pemberdayaan mengalami distorsi dan reduksi. Nilai pemberdayaan bukan lagi menjadi nilai yang kualitatif, namun sudah bergeser menjadi nilai normatif saja. Sudah tidak peduli lagi apakah berpihak kepada masyarakat miskin atau tidak, tidak perduli apakah kualitas proses pengambilan keputusan merupakan representasi demokrasi atau tidak, karena yang terpenting adalah di atas kertas kerja saja yang penuh dengan data manipulatif. Dan puncaknya adalah kita sanggup menyelenggarakan sebuah musyawarah besar yang ternyata merupakan sandiwara serta rekayasa belaka.

Kondisi ini sangat ironis, karena sebagai pemberdaya kita sendiri malah tidak berdaya. Tidak berdaya menghadapi tekanan, beban tahapan program, laporan yang absurd sehingga menyebabkan ruh moral dan etika pemberdaya terselip di tengah-tengah himpitan kegiatan. Kita di hadapkan dengan pilihan simalakama, bekerja dengan nilai dan etika namun progres akan mengalami keterlambatan ataukah bekerja di atas meja yang semuanya dapat di olah dan dibuat tanpa kita melihat kondisi sejati masyarakat namun keuntungannya adalah akan meningkatkan citra diri kita kepada program. Keterlambatan laporan akan membuat anda terancam, dan atasan akan menganggap anda tidak becus bekerja secara profesional. Sedangkan indikator evaluasi kinerja juga tidak mampu menyentuh aspek yang murni karena disana sini karena berbias dengan subjektivitas.

Di tengah keruwetan tersebut, pemberdaya menjadi oleng dan mengapung-apung di tengah gelombang tahapan program kegiatan. Semuanya harus di kerjakan, dilaksanakan, diselesaikan dan di laporkan. Tidak hanya tuntutan atasan namun juga keadaan masyarakat yang menuntut pendampingan. Belum selesai satu sudah muncul tugas dan beban yang lain. Belum lagi di tambah permasalahan di dalam tubuh internal yang juga harus di selesaikan dan juga tetap di laporkan. Para pelaku pemberdayaan, menjadi malah sibuk berkutat, berdiskusi, berdebat, sampai melupakan esensi pemberdayaan itu sendiri. Kita seolah-olah harus mampu apa saja, siap kapan saja, dan tidak boleh mengeluh.

Sehingga bukanlah hal yang aneh, apabila di balik (katanya) kesuksesan program namun di belakang layar, kita sering mendengar celotehan bernada minor. “Kalau suatu pekerjaan dikerjakan, maka pekerjaan itu akan sedikit-demi sedikit terselesaikan. Namun bila disini, semakin suatu pekerjaan itu dikerjakan, bukan malah selesai namun malah akan tambah semakin banyak pekerjaan….” Kata pelaku di tingkat desa.

Bahkan terkadang kita sering mendengar anekdot : “Kalo seperti ini bukan pemberdayaan namun lebih tepat diperdayai. Karena bukan semakin kita berdaya namun malah semakin bingung karena kebijakan sering tidak konsisten dan kurang relevan dengan kondisi di lapangan.” 
“Kita bekerja kepada antek Kumpeni yang tidak punya hati nurani. ” Kata seseorang. “ Tidak boleh melakukan sedikit kesalahan apapun. Karena satu kesalahan yang kita lakukan akan membumihanguskan seluruh kinerja yang telah kita hasilkan.”
“Tidak sesuai dengan Undang-undang Ketenagakerjaan, hak-hak kita diperkosa…” Tambah seseorang pemberdaya yang sudah senior.
“Kita disuruh mengentaskan kemiskinan tapi tidak di beri reward dan jaminan keamanan hari tua. Bila program ini berhasil kita sendiri malah akan menjadi miskin, menjadi pengangguran karena kita terkena PHK.”

Bermacam-macam lagi uneg-unegnya yang masalahnya menggumpal dari dalam mereka masing-masing yang bersumber dari kekesalan dan pressure beban pekerjaan yang tidak dimengerti harus di salurkan ke arah mana amarah tersebut. Karena toh bila terpaksanya dikembalikan lagi juga banyak yang tidak berani nyali. Karena perjanjian kontraknya jelas. Silahkan angkat kaki bila tidak berminat disini.

Dari satu sisi saja sudah dapat kita identifikasi ketidakberdayaan dalam diri kita. Alih-alih memberdayakan masyarakat, memberdayakan diri kita sendiri saja masih tanda tanya besar. Terlihat dari banyaknya hal yang ternyata tidak sanggup kita selesaikan sehingga menjadi kebuntuan.

Tantangannya adalah apakah kita akan terus berkeluh kesah, terhadap pekerjaan kita yang semakin memperlihatkan ketidakberdayaan kita. Ataukah kita memulai menata kembali nilai pemberdayaan untuk dapat diterapkan kepada masyarakat yang tidak melanggar mekanisme kebijakan namun dapat diterima dengan hati dan bukan hanya administrasi. Setidaknya mari kita memulai dari kita sendiri.
»»  Baca Selanjutnya...