Sabtu, 28 Januari 2012

PELANTIKAN KETUA TIM PENGGERAK PKK KECAMATAN DALAM WILAYAH KABUPATEN TUBAN

Sejalan dengan pergeseran dan pergantian Jabatan beberapa Camat di Kabupaten Tuban, Ketua Tim Penggerak PKK yang notabenenya Istri Camat juga mengalami pergeseran dan pergantian pula. Acara ini dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 25 Januari 2012  bertempat di Gedung Korpri Kompleks Pendopo Krido Manunggal.

Ketua Tim Penggerak PKK Kecamatan dilantik secara resmi oleh Ibu Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten yang juga isteri Bupati Tuban Ny. Hj. Qodriyah Fathul Huda. Selain dihadiri TP PKK Kabupaten, perwakilan Dharma Wanita Persatuan, Persit dan Bhayangkari acara ini dihadiri pula Camat Sekabupaten Tuban.

Dalam sambutannya Bupati Tuban, H. Fathul Huda menyambut baik pelantikan ini, apalagi yang melantik adalah Isteri beliau sendiri yang untuk pertama kalinya semenjak dilantik sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten. Menurut Pak Huda wanita adalah Sumber Kemuliaan tapi juga bisa jadi sumber kehancuran. Diharapkan PKK adalah sumber dari kemuliaan itu karena PKK memiliki tugas mulia diberbagai bidang seperti Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi.

Dalam bidang Pendidikan, PKK diharapkan dapat mendukung pendidikan dasar untuk anak-anak seperti PAUD sebagai modal mereka kedepan. Dalam bidang Kesehatan PKK dituntut untuk bisa menghidupkan kembali POSYANDU untuk membantu Ibu yang melahirkan dan akan melahirkan sehingga mengurangi angka kematian ibu dan anak saat proses persalinan. Di bidang Ekonomi diharapkan PKK dapat membantu Usaha Kecil Menengah yang dilakukan oleh kaum ibu.
»»  Baca Selanjutnya...

Dulu SBY Minta DPR Berhemat, Kini Istana Bangun Parkir Rp10,6 M


Masih ingat dengan proyek gedung baru DPR? Proyek yang taksiran awalnya akan menghabiskan anggaran Rp1,8 triliun mendapat sorotan publik. Gedung mewah yang konsepnya dibangun 36 lantai akhirnya dibatalkan. Padahal anggaran untuk proyek ini sudah turun hingga harga akhir menjadi Rp777 miliar. 

Bukan cuma publik, pengamat ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati parlemen, sorotan juga datang dari Istana. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara langsung memberikan tanggapan. Dalam jumpa pers di Kantor Presiden, SBY secara khusus meluangkan waktu menanggapi proyek gedung baru DPR yang sudah jadi polemik. Kala itu, dengan tegas Presiden SBY meminta DPR mengkaji ulang pembangunan gedung baru.

"Saya menginstruksikan, setelah dilakukan pengecekan rencana pembangunan gedung dan fasilitas yang tidak memenuhi ketentuan yang dikeluarkan, bahkan dalam bahasa saya tidak memenuhi standar kepatutan, agar ditunda dulu, untuk dilakukan revisi penyesuaian, bahkan barangkali kalau memang tidak sangat diperlukan bisa ditunda dan dibatalkan," kata SBY, Kamis, 7 April 2011. 

Dalam pernyataannya, Presiden SBY juga meminta kementerian dan pemerintah daerah berpikir ulang untuk mengajukan proyek yang bakal jadi fasilitas penunjang kegiatan. Presiden juga mengingatkan pejabat negara dan pejabat daerah agar lebih memperhatikan kondisi masyarakat.

"Saya masih melihat gedung dan bangunan yang dibangun, baik di tingkat pusat juga di daerah, bahkan yang mencolok di beberapa daerah termasuk wisma dan rumah jabatan, yang menurut saya, setelah saya lihat langsung itu berlebihan, mewah. Sementara di sekelilingnya kalau di daerah itu prasarana publik justru kurang, apakah air bersih, apakah fasilitas jalan, puskesmas, prasarana pendidikan," imbuh SBY. 

SBY saat itu juga menyinggung Instruksi Presiden (Inpres) yang dia keluarkan. Inpres Nomor 7 Tahun 2011 itu berjudul Penghematan Belanja Kementerian/Lembaga tahun Anggaran 2011.

"APBN 2011 tahun berjalan atas instruksi No. 7 Tahun 2011 yang saya keluarkan itu, kita telah melakukan sejumlah penghematan, dan tercatat sekarang ini bisa dihemat dana sebanyak Rp16,8 triliun yang pada gilirannya akan kita bahas bersama DPR untuk pengalihan atau penggunaan yang lebih tepat," jelasnya.

Lalu apa yang terjadi hampir setahun kemudian? Berdasarkan data yang diperoleh Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), Sekretariat Negara tercatat punya alokasi anggaran untuk sederet proyek. 

FITRA merilis proyek areal parkir di Istana yang anggarannya, Rp 12 miliar. Data ini dibantah. Kepala Biro Tata Usaha dan Humas Kementerian Sekretariat Negara Sugiri kemarin menjelaskan proyek areal parkir hanya menelan Rp10,6 miliar. 

Sugiri menjelaskan pembangunan parkir dilingkungan Istana berbeda dengan di DPR, hal itu karena lahan parkir di Istana dibangun di bawah tanah menggunakan konstruksi beton yang terdiri dari lantai dasar dan basement totalnya 3270 m2. 

"Selain itu fasilitas bukan hanya untuk parkir tetapi juga musala dan koperasi. Lapangan parkir bisa menampung 1.000 motor, ada taman juga," tuturnya.

Tapi bukan cuma proyek parkir, FITRA juga merilis anggaran renovasi Istana Kepresidenan di Jakarta, Bogor, Cipanas,Yogyakarta, dan Bali. Total anggarannya Rp21,9 miliar. 

Peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam menyebut keborosan Istana menunjukan ketidakkonsitenan Presiden SBY dalam pelaksanaan kebijakan penghematan anggaran. 

"Jadi sia-sia imbauan SBY soal ajakan hentikan korupsi dan hemat anggaran. Presiden SBY pernah mengeluarkan inpres penghematan APBN 2011, kok di rumahnya sendiri justru melakukan pemborosan anggaran. Ini contoh tidak konsistennya Presiden SBY," kata Roy Salam kepada okezone tadi malam.

Sumber Berita : www.okezone.com
»»  Baca Selanjutnya...

Dengan 100 Rupiah, Enduh Mengubah Desa

Enduh Nuhudawi
Mungkin kita tidak akan percaya dengan uang 100 rupiah bisa mengubah wajah desa. Entah kebetulan atau tidak, kondisi Desa Situ Udik di Kecamatan Cibungbulan, Kabupaten Bogor, memang tidak jauh dengan namanya. Kemiskinan menjerat cukup banyak warganya.
Namun sejak 2009, desa berpenduduk 14 ribu jiwa dengan 1.045 orang di antaranya di golongan prasejahtera itu menjadi sorotan nasional. Bahkan tahun itu Desa Situ Udik menjadi desa percontohan se-Jawa Barat.
Warga Desa Situ Udik memang masih banyak yang terbelit kemiskinan. Namun, sejak tiga tahun lalu sudah 68 rumah tidak layak huni (RTLH) berhasil diperbaiki secara bergotong-royong oleh warga. Perbaikan itu bisa terwujud karena saban hari setiap warga mengumpulkan uang Rp100.
Ada kotak kayu layaknya kotak amal yang ada di masjid atau buku catatan sumbangan yang diedarkan pengurus RT ke rumah-rumah. Di akhir bulan, uang yang dikumpulkan ke perangkat desa itu disalurkan untuk pembangunan atau perbaikan rumah keluarga miskin.
Kegiatan yang dinamai Serumpi yang berasal dari kata ‘reriungan sarumpi’ ini memang tidak muncul begitu saja. Ini merupakan hasil gagasan sang kepala desa (kades), Enduh Nuhudawi.
“Konsep saya tiga saja, gotong-royong, kebersamaan, dan kepedulian serta rasa ingin maju. Di mana pun (bisa) berhasil,” kata pria 49 tahun ini. Konsep itulah yang diluncurkan Enduh saat pencalonan kades pada 2008.
Namun, ide nyata tentang kotak Serumpi itu didapat setelah Enduh berkeliling menyaksikan kondisi desa. Hal itu sebenarnya dilakukan untuk meyakinkan dirinya menerima desakan dari tokoh desa agar ia mau menjadi kades.
Sebagai pemilik tiga toko sembako, Enduh mengaku pada awalnya tidak ada keinginan menjadi kades. Ayah empat anak ini pun mencari panggilan apa yang membuatnya perlu menjadi kades di desa itu. Nyatanya selama berkeliling desa yang ia temui adalah berbagai masalah sosial. Namun hal itu justru meyakinkannya.
”Satu bulan saya muter tiap hari. Di situ saya banyak temuan, di antaranya banyak RTLH, masyarakat sakit tidak bisa berobat. Di situ akhirnya saya mau.” Setelah terpilih jadi kades, Enduh langsung mengemukakan konsep program pengumpulan Rp100 tersebut.
Awalnya dengan uang sendiri.
Awalnya pelaksanaan program Serumpi tidak mudah. Warga desa banyak yang tidak percaya, baik terhadap keberhasilan program maupun soal penggunaan uang itu. Karena tidak ingin idenya gagal, Enduh pun melaksanakan aksi rahasia yakni memperbaiki dua rumah keluarga miskin dengan uangnya sendiri. Namun, kepada masyarakat ia katakan bahwa perbaikan itu merupakan hasil pengumpulan uang Rp100.
“Waktu itu saya habis delapan jutaan. Saya keliling ke pengajian dan saya sampaikan bahwa uang dari seratus rupiah itu sudah bangun dua rumah,” tuturnya. Cara itu terbukti jitu. Keberhasilannya jadi pembicaraan warga dan akhirnya mereka mulai antusias bersedekah.
Awal 2009, wadah sumbangan tidak perlu selalu diedarkan karena sudah ada di rumah-rumah warga. Setiap bulan, dari 43 RT yang ada di wilayah tersebut, rata-rata terkumpul uang Rp4 juta. Bahkan pernah pula mencapai Rp8 juta.
Program yang dilakukan Enduh kemudian mendapat dukungan pemerintah kabupaten. Sebanyak 50 rumah lainnya dapat diperbaiki dengan dana pemkab.
Pemkab Bogor pada 2012 ini menargetkan perbaikan 4.000 rumah. Jumlah itu merupakan bagian dari 49.093 RTLH yang terdata pada 2010.
Enduh menetapkan target setiap bulan harus ada rumah yang dibangun atau diperbaiki secara mandiri. Biaya yang dianggarkan untuk tiap rumah berbeda-beda, sekitar Rp2,5 juta – Rp6 juta.
Umumnya perbaikan yang berbiaya besar disebabkan tidak ada faktor internal penunjang, misal dukungan finansial dari anak-anak pemilik rumah. Enduh memang berusaha untuk melibatkan pemilik rumah menyumbang dana untuk mendidik kemandirian.
“Masyarakat jangan disuapin saja. Malah uang ini harusnya berkembang. Bedah rumah ini enggak 100% tapi 80%. Karena kalau 100%, itu tidak mendidik keluarganya.”
Enduh juga mengeluarkan sanksi bagi masyarakat yang enggan menyumbang untuk fakir miskin. Namun, sebagaimana sosialisasi Serumpi, sanksi pun menggunakan pendekatan agama. “Saya bilang sanksinya didoakan ramai-ramai di mesjid supaya belangsak. Warga pun takut,” cetusnya.
Kini meski total telah 118 RTLH diperbaiki, Serumpi belum akan berhenti. Berdasarkan pendataan, Enduh mengatakan masih ada 173 RTLH belum tersentuh. Untuk itu, Enduh pun bercita-cita mengumpulkan Rp15 juta per bulan agar rumah-rumah itu rampung dalam waktu setahun.
»»  Baca Selanjutnya...

RUU Desa Versi Pemerintah Akan Membunuh Desa

Dosen Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM. Ari Dwipayana, pada RUU pemerintah terdapat ketidaksambungan substansi dalam naskah akademik karena berbagai argumen yang dipaparkan di naskah akademik tidak diturunkan dalam rumusan pasal-pasal dalam UU tersebut. Selain itu, RUU versi Pemerintah tidak memiliki visi, bahkan malah “membunuh desa”. “Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya terobosan terhadap problematika pemerintahan di desa dan juga pembangunan desa yang tanpa aset dan akses”, papar dosen UGM ini, Selasa (24/01/2012).

Dalam kesempatan yang sama Sutoro Eko berpendapat bahwa, “RUU Desa versi pemerintah ini mengalami kemunduran. Hal tersebut karena substansi RUU Desa tampak tidak sepadan dengan suara otonomi desa yang telah membahana di seluruh pelosok negeri”, jelas Eko membuka argumennya. Di dalam pembahasannya, ia menjelaskan cara memandang desa dari beberapa sisi seperti halnya sisi administratif, sisi dimana desa merupakan kepanjangan tangan negara, atau disebut sebagai desa korporatis. “RUU desa versi pemerintah sangat kuat dipengaruhi oleh cara pandang korporatis ini”, tambahnya.

Bertempat di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, tim pakar lainnya yaitu B. Hestu CH dan Robert Endi Jaweng (Manajer Hubungan Eksternal KPPOD) memaparkan pokok-pokok permasalahan pengaturan desa yang seharusnya bisa teratasi dengan adanya RUU Desa ini. Dengan berbagai kekurangan dan ketidakjelasan  RUU Desa versi pemerintah, sudah jelaslah penolakan yang akan didapat. Untuk itu, DPD RI perlu mendesak DPR RI terutama Komisi II untuk membuka diri dan menyerap berbagai kritik yang muncul atas draft RUU pemerintah.
»»  Baca Selanjutnya...

Penggalian Potensi Desa vs Pemda Sebuah Ironi

Sabtu, 28 Januari 2012             
Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui amanat UUD 1945 berkeinginan untuk tercapainya kesejahteraan rakyatnya. Seluruh UU atau peraturan yang ada sebagai pengejawantahan UUD tersebut juga diharuskan merujuk kepada UUD 1945 sebagai induknya. Kesejahteraan di NKRI ini harus dapat diwujudkan di segenap aspek kehidupan berdasarkan falsafah negara Indonesia. Cakupan wilayah pun tidak boleh luput dari target capaian amanat di atas. Pemerintah RI telah berupaya dalam sebagian konsepnya tentang pengurangan angka kemiskinan, kebodohan dan pengangguran yang menjadi salah satu penyebab tidak dapat diraihnya sebuah kesejahteraan. Konsep tersebut telah dituangkan menjadi program yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah. 

Sebuah permasalahan terkait dalam hal ini ketika dibicarakan dalam tataran Pemerintahan Daerah, termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten dan Pemerintahan Desa yang mendapatkan tugas sebagai kepanjangan tangan pemerintahan di atasnya. Permasalahan tersebut adalah ketika masih terwujudnya realita kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan pengangguran yang masih menjadi potret di daerah atau di desa yang menjadi wilayah sebuah pemerintahan daerah. Bahkan Desa adalah merupakan wilayah terbesar di Indonesia.

Ada hubungan sistematis antara kesejahteraan, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, pengangguran dan penggalian potensi. Di antaranya, dengan keterbelakangan, kebodohan, pengangguran dan kemiskinan maka penggalian potensi yang akan dapat menghasilkan beberapa unsur kesejahteraan tidak dapat terlaksana dengan baik atau tidak bisa terlaksana sama sekali. Berkaitan dengan hal ini, bahwa bukan hanya rakyat atau masyarakat saja yang memang berkewajiban memandirikan sendiri terhadap potensi yang dimilikinya, namun sebagai sebuah komunitas yang telah melakukan perjanjian bersama sebagai sebuah negara serta sepakat untuk memilih pemimpinnya maka pemerintah yang paling pertama harus memenuhi tugas untuk memandirikan masyarakat supaya dapat bertopang pada kekuatan sendiri dalam meraih kesejahteraannya. Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa sebagai unsur pemerintahan terdekat dengan masyarakat tentu dituntut untuk itu. Dan di sinilah akan muncul beberapa hal penting berkaitan dengan hal di atas, terutama menyoroti yang kadang masih ada yang perlu diperbaiki, dan kalau disandingkan pun akan sangat bertolak belakang dengan capaian yang akan berbeda. 

Pemerintahan Daerah (Pemda) dan Pemerintahan Desa (Pemdes) sebagai telah disinggung tadi adalah unsur pemerintahan terdekat kepada masyarakat. Masyarakat sebagai obyek program pencapaian kesejahteraan memerlukan pembinaan, pengarahan, pengawasan, atau minimal pendampingan dan pengawasannya. Pemda dan Pemdes harus punya kemampuan membina, mengarahkan, mengawasi, mendampingi. Kemampuan tersebut harus dimiliki dan tidak boleh dianggap sepele, sebab jika tidak demikian maka capaian akan menjadi gagal. 

Dan pada realitanya di sini pula munculnya salah satu permasalahan yang bisa saja dianggap sangat besar. Dengan posisi Pemdes yang ‘bersentuhan langsung’ dengan masyarakat atau rakyat tentu kemampuan Pemdes dalam hal tersebut harus benar-benar mampu dibanding posisi Pemda yang ‘tidak bersentuhan langsung’ dengan masyarakat atau rakyat, dan lebih cenderung ke berkegiatan di bidang konsep, kegiatan skala besar atau sekedar pengawasan. Maka dengan posisi sangat vital tersebut Pemdes diharapkan memiliki kemampuan tersebut guna membina, mengarahkan, mendampingi dan mengawasi masyarakat dalam menggali potensi dirinya dan lingkungannya sebagai sarana tercapainya kesejahteraan bagi mereka perorang atau bagi mereka sebagai sebuah komunitas di sebuah desa. Tapi ternyata harapan yang demikian masih jauh sekali dari harapan. 

Dimulai dari tahap awal perekrutan personalia Pemdes masih terkendala oleh UU dan peraturan di bawahnya di antaranya dalam persyaratan pendidikan seorang calon personalia Pemdes, walaupun disyaratkan dengan minimal tingkat pendidikan tapi hal itu ikut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh persyaratan lainnya sehingga untuk merekrut sumber daya manusia yang akan menjadi personalia Pemdes yang punya kemampuan yang diharapkan tidak terpenuhi. Pada tahapan berikutnya adalah realita kurang intensifnya pemberdayaan SDM yang telah menjadi personalia Pemdes. Status pekerjaan, honorerkah, sukwan, buruh, tenaga kontrak atau PNS-kah dengan segala realisasi kesejahteraannya maka akan juga mempengaruhi kemampuan mereka ketika mereka sendiri karena ketidakmenentuan status dan kesejahteraan, maka konsentrasi kemampuan itu sendiri akan berkurang. Yang tidak kalah penting adalah munculnya ketidak-tertarikan masyarakat yang ber-SDM cukup untuk masuk ke personalia Pemdes. Bisa saja ada SDM bagus yang tertarik dengan masuk ke dalamnya, namun begitu mengetahui keadaan yang sebenarnya mereka banyak yang kecewa dan akumulasi kekecewaan tersebut terdengar nyaring pada saat-saat ini dengan munculnya pergerakan personalia Pemdes. 

Realita di atas menunjukan arti penting Pemdes namun kurang berdaya. Bila disandingkan atau bahkan dihadapkan dengan posisi Pemda dalam tugasnya yang ada perbedaan dengan tujuan sama, maka akan tidak sebanding atau jauh dari harapan untuk tercapainya tujuan. Sebab, personalia Pemda dengan otonomi yang sama namun persayaratan perekrutan, SDM yang dimiliki, pembinaan yang terarah, status dan kesejahteraan yang jelas dan mencukupi maka sangat berbanding terbalik dengan personalia Pemdes. Dan secara logika seharusnya Pemda lebih dapat menggali potensi daerah bersama masyarakatnya dibandingkan dengan Pemdes, namun yang seringkali terdengar adalah himbauan agar Pemdes dapat lebih baik menggali potensi masyarakat desa dan lingkungannya, dibanding himbauan agar Pemda dapat lebih baik dalam menggali potensi masyarakat dan lingkungannya, tapi di sisi lain yang sempat menjadi wacana saat terkini adalah banyaknya Pemda yang pengeluaran anggarannya lebih besar pasak dari pada tiang, dan suka bernyanyi dengan lagu ‘defisit’ anggaran

Kalau realita demikian, siapakah yang bertanggungjawab terhadap lemahnya sistem/aturandan lemahnya kemajuan program ini pada tiap tahap pembangunannya? Mendagrikah atau Presidenkah, atau juga termasuk legislatifnya?
»»  Baca Selanjutnya...