Selasa, 14 Agustus 2012

Segarnya Berbuka Dengan Kelapa Bakar


Kelapa bakar mungkin bisa dijumpai di hampir seluruh kota di tanah air, namun kelapa bakar di Lamongan terasa beda. Minuman ini lebih menjadi minuman untuk kesehatan dan bukan sekedar minuman ringan pelepas dahaga. Selain air kelapa yang telah dibakar, minuman ini juga dicampur rempah-rempah, susu serta madu, Mingg (5/8)
Selain rasanya yang nikmat, kelapa bakar memiliki sejumlah Khasiat, diantaranya dapat mencegah darah tinggi serta demam campak, selain itu, kelapa bakar dipercaya memiliki khasiat untuk menambah stamina, dan bisa menambah gairah seksual bagi kaum lelaki.
Agar bisa disajikan dengan rasa yang nikmat, kelapa bakar ini dipilih kelapa yang masih muda. Sedang proses pembakaranya membutuhkan waktu sekitar 2 hingga 3 jam. Setelah dibakar, sabut yang sudah hangus itu dikupas sampai bersih. Kemudian dibagian atas kelapa dipotong untuk membuat lubang. Setelah itu diberi campuran madu dan susu baru kemudian disajikan.
Rozi, yang sudah menekuni pekerjaan menjual kelapa muda bakar selama sepuluh tahun ini, mengaku, “Setiap bulan puasa omsetnya meningkat hingga dua ratus persen,” katanya. Pada hari-hari biasa dia hanya mampu menjual 30 hingga 40 biji. Namun, “Pada bulan suci ramandhan biasanya saya mampu menjual 100 hingga 150 biji,” tambah rozi.
Mahrus, seorang penikmat kelapa bakar mengaku, minuman kelapa bakar ini sangat cocok dikonsumsi saat berbuka puasa. “Karena manfaatnya langsung bisa dirasakan. Habis menyantap kelapa bakar tenaga langsung pulih, meskipun seharian puasa,” katanya.
Karena harganya cukup terjangkau, kelapa bakar ini kini menjadi minuman favorit baik orang dewasa maupun remaja. Satu biji harganya antara delapan hingga sepuluh ribu, melihat besar kecilnya kelapa. Namun pada hari-hari biasa hanya dijual empat sampai enam ribu rupiah saja.
Bagi anda, yang kebetulan melewati alon-alon kota lamongan. Jangan lupa mampir dan menikmati minuman favorit kelapa bakar buatan orang lamongan.
»»  Baca Selanjutnya...

Pantai Tuban Masih Suguhkan Pesona



Hamparan pasir di sepanjang pantai Tuban memang tak seputih pasir di Pantai Pasir Putih Banyuwangi. Onggokan sampah tampak memenuhi setiap sudut. Sebagian terseret ombak membuat air laut jadi tampak kotor. Berbagai macam sampah bisa ditemui di sini. Plastik bekas kemasan makanan ringan, karung goni, pakaian dalam bahkan kotoran manusia, semua tersaji di sepanjang pantai.
Tetapi buat Deni, sampah-sampah itu tak terlalu mengusik. Ia bahkan tak mengkhawatirkan dua anaknya bermain pasir dan air laut di pantai yang berada persis di bahu jalan arteri nasional itu. Dia sendiri tampak asyik bersanding dengan istrinya di bibir perahu yang tertambat di tepian. “Kami biasa kok ‘momong’ anak-anak di pantiai ini,” kata Deni santai.
Memang, sambung Deni, akan lebih bagus lagi jika sampah-sampah tak berserakan di pasir pantai yang sebenarnya putih lembut itu. Deni melihat, pantai yang masuk wilayah Kelurahan Karangsari, Kecamatan Tuban Kota itu, berpotensi besar menjadi salah satu sumber pendapatan Pemerintah Kabupaten (Pemkab). Setahunya, pantai Karangsari tak pernah sepi, terutama di sore hari.
“Bukan cuma panorama pantai yang menarik, deretan perahu dan kesibukan nelayan itu juga asset wisata potensial. Saya sering ngajak anak-anak ke sini. Kadang pulang bawa ikan segar, beli dari nelayan yang baru tambat labuh. Anak-anak juga bisa lebih memahami kehidupan nelayan,” kata Deni.
Heri melontarkan pendapat hampir sama dengan Deni. Bujang yang mengaku berasal dari Bekasi, Jawa Barat itu sedikit menyayangkan kurang terawatnya pantai Karangsari. Menurutnya, hanya Tuban yang memiliki garis pantai berhimpit dengan jalan arteri nasional di Pulau Jawa ini. “Ini tempat rest area paling tepat, karena berada persis disisi jalan arteri nasional. Setiap orang yang lewat jalur ini pasti akan tertarik singgah, seperti saya dan keluarga. Kalau dirawat dan dikelola, bisa luar biasa,” komentar Heri.
Para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang ada di sepanjang pantai itu mengakui, pendapatannya tidak pernah menurun. Malah beberapa hari terakhir mengalami peningkatan karena pantai itu makin ramai pengunjung. Tarno, salah seorang PKL, mengatakan, hari-hari biasa ia mampu mengantongi Rp 150 ribu/hari. Pendapatannya meningkat dua kali semenjak Ramadhan. “Mendekati hari raya, pengunjung akan makin ramai. Banyak pemudik yang singgah. Saat Hari Raya, malah lebih banyak lagi yang berkunjung,” kata Tarno.
Pemkab Tuban sendiri bukan tidak menyadari potensi pendapatan yang dimiliki pantai Karangsari. Sempat terbersit rencana penataan kawasan itu, terlebih saat pengurus Tempat Ibadat Tri Dharma (TITD) Kwan Sing Bio-Tjoe Ling Kiong (KSB-TLK) mengajukan permohonan pembangunan Pagoda 9 lantai-nya. Konon, Pagoda itu bakal dijadikan maskot wisata dan pihak TITD KSB-TLK-pun optimis pantai Karangsari bakal lebih hidup. Namun rencana itu tak jelas juntrungnya kini. Banyak kalangan tidak menyetujuinya. “Di satu sisi memang memberi keuntungan pada Pemkab, tapi sisi lain, resiko abrasi bakal makin meningkat. Terlebih kawasan itu menjadi tempat tambat labuh ratusan perahu nelayan,” pendapat Edy Toyibi, Direktur Lembaga Konservasi dan Perlindungan Sumberdaya Alam (LKPSDA) Cagar.
Bagian Pariwisata dan Kebudayaan Dinas Perekonomian dan Pariwisata (Disperpar) Pemkab Tuban pun sependapat. Sunaryo, Kepala Bagian Pariwisata Disperpar mengatakan, pihaknya telah mengusulkan rencana penataan pesisir Karangsari untuk rest area. “Tidak perlu ada bangunan tambahan, panorama laut dan aktivitas nelayan sudah cukup menjadi daya tarik. Yang perlu dibangun jetty di sepanjang pantai itu, agar lebih layak dan memberi kenyamanan pengunjung. Jadi PKL tidak mengganggu arus lalu-lintas jalan protokol itu. Pengunjungpun merasa lebih nyaman,” kata Sunaryo.
Masalah kebersihan pantai, Sunaryo menyadari bukan hal yang mudah untuk diatasi. “Kami akan terus melakukan pendekatan pada masyarakat nelayan di situ, kesadaran mereka terhadap lingkungan pantai memang masih sangat rendah. Para pengunjung juga kami harap tidak memperburuk dengan membuang sampah sembarangan di pantai. Kalau perlu nanti ada Perda-nya,” kata Sunaryo.
»»  Baca Selanjutnya...

Pariwisata Tak Siap Sambut Liburan Iedul Fitri



Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tuban dipastikan tidak bisa menangguk pendapatan lebih dari sektor pariwisata saat liburan Hari Raya Iedul Fitri nanti. Dari empat destinasi wisata yang dikelola Pemkab Tuban, hanya Goa Akbar yang dinilai telah siap menyambut pengunjung pada liburan Hari Raya Iedul Fitri. Tiga lainnya, yakni Pemandian Alam Bektiharjo, Pelabuhan Boom dan Wisata Laut Kambang Putih (WLKP), masih dalam tahap perbaikan, sehingga dimungkinkan tidak mampu maksimal menerima pengunjung. Bahkan untuk WLKP yang dibangun satu paket dengan Terminal Wisata Tuban (TWT), kemungkinan besar tetap ditutup untuk pengunjung.
“Semua masih dalam tahap pengerjaan. Masih banyak fasilitas yang perlu kita bangun di destinasi-destinasi wisata tersebut, terutama Wisata Laut Kambang Putih. Karena itu kita nggak narjet bisa dapat pemasukan tinggi saat libur hari raya nanti,” kata Sunaryo, Kepala Bidang Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Perekonomian dan Pariwisata Pemkab Tuban, Jum’at (3/7).
Meskipun begitu, Sunaryo mengatakan tetap bakal peningkatan jumlah pengunjung di beberapa destinasi wisata itu sebesar 10 %, kecuali WLKP yang memang belum layak dibuka untuk umum. Angka kunjungan wisata diakui memang agak sedikit menurun sekitar 25-30 % tahun ini. Goa Akbar yang menjadi destinasi wisata andalan Kota Wali ini sempat mencatat angka kunjungan rata-rata 15 ribu/tahun. Namun setahun terakhir, menurut Kepala UPTD Destinasi Wisata, Heru Trijatmika, hanya mampu menembus angka 9 ribu pengunjung. Sementara Pelabuhan Boom masih lumayan stabil dengan angka kunjungan rata-rata 7 ribu/tahun. Untuk Pemandian Alam Bektiharjo yang berada di Desa Bektiharjo, Kecamatan Semanding, angka kunjungan wisatanya malah hanya sampai angka 4 ribu/tahun.
Tahun lalu, dari dua destinasi wisata yang telah aktif, Goa Akbar dan Bektiharjo, sektor pariwisata mampu memberi kontribusi Pendapatan Aseli Daerah (PAD) sebesar Rp 893,6 Juta. Tahun ini, kata Sunaryo, target kontribusi ditingkatkan menjadi Rp 900 juta. “Obyek pendapatannya untuk destinasi wisata ya Cuma dua itu, Goa Akbar dan Bektiharjo. Untuk Boom kan masih ujicoba, jadi belum ditarget. Sedang WLKP ya malah belum bisa dipungut apa-apanya,” kata Sunaryo.
Sunaryo menambahkan, dalam rangka meningkatkan kontribusi sektor pariwisata pada PAD itu-lah saat ini pihaknya menggenjot pembangunan fasilitas penunjang sejumlah destinasi wisata. Menurutnya, angka kunjungan wisata ke Tuban dikhawatirkan bakal lebih buruk lagi apabila destinasi wisata yang telah ada dan sudah dikenal saat ini tidak ditingkatkan pelayanannya. Hampir semua destinasi wisata masih sangat minim fasilitas pendukung, sehingga sangat sulit diharapkan mampu memberi kontribusi lebih pada PAD.
Tahun ini, kata Sunaryo, prioritas utama Pariwisata adalah maksimalisasi sarana pendukung destinasi wisata. Pemerintah sendiri telah menyediakan anggaran sebesar Rp 4 miliar untuk pembangunan fasilitas pendukung di tiga destinasi wisata. Pelabuhan boom mendapat jatah Rp 2,5 miliar, Pemandian Bektiharjo terjatah Rp 1 miliar, sedang Rp 500 juta bantuan dari Pemerintah Propinsi dialokasikan untuk pembangunan fasilitas pendukung WLKP. Sunaryo menaksir pembangunan tiga destinasi wisata itu baru kelar September-November. “Yang jelas tahun ini kita bersabar dulu lah. Insya Allah tahun depan semua sudah siap, sudah bisa maksimal,” katanya. 
»»  Baca Selanjutnya...

Kemolekan Banyu Langse Memudar



Sebenarnya banyak tempat yang bisa dijadikan destinasi wisata di Tuban. Sungai Banyu Langse di Desa Boto, Kecamatan Semanding, salah satunya. Tempat ini sangat eksotis. Dua air terjun mengalir deras dari bongkahan batu-batu cadas, membelah bukit kapur bagai liukan seekor naga. Dua tebing tegak mengapit aliran sungai. “Karena bentuknya yang meliuk seperti ular besar itu sungai ini disebut Banyu Langse. Langse artinya meliuk-liuk,” kata Samsul, tokoh masyarakat setempat, Minggu (29/7).
Cerita Samsul, konon sungai Banyu Langse ini menjadi jalan masuk para wali penyebar agama Islam di Tanah Jawa untuk menuju ke Goa Gembul. Di Goa Gembul itu para wali tersebut mengadakan musyawarah menyusun strategi da’wah. Samsul sendiri mengaku belum pernah membuktikan, tetapi ia percaya goa yang ada di atas sungai itu tembus ke Goa Gembul.
Keberadaan Banyu Langse sebagai destinasi wisata, kata Samsul, sebenarnya sudah sangat lama. Sekitaran tahun 1980-an, bahkan tempat ini sangat terkenal dan banyak dikunjungi wisatawan. Tentu saat itu kondisi Banyu Langse tidak gersang seperti sekarang. Ratusan pohon siwalan masih berdiri kokoh di atas dua tebingnya, berbaur dengan pohon jati dan ploso. Batu-batu pun belum banyak berserakan di dasar sungai. “Di sini sering longsor karena kurang terawat. Batu-batu besar di tengah sungai itu longsoran dari atas sana,” kata Samsul.
Rindangnya hutan dan indahnya panorama tentu mengundang pasangan muda-mudi. Pengunjung destinasi wisata ini pun kebanyakan muda-mudi yang sengaja mencari tempat beromantis ria. Sampai sekarang pun di Banyu Langse masih sering telihat pasangan muda-mudi beromantis-romantisan, meski tidak begitu banyak. Inilah yang menurut Samsul menjadi sebab Banyu Langse makin lama makin terpuruk. Kehadiran pasangan muda-mudi itu tentu sedikit mengganggu pandangan. Terlebih sungai itu menjadi pusat aktivitas masyarakat di sekitarnya. Mulai dari mandi, mencuci, buang hajat, memandikan ternak, semua dilakukan di sungai tersebut. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan air bersihpun masyarakat mengambilnya dari sungai Banyu Langse. Airnya memang jernih dan 100% bebas pencemaran, kecuali kandungan kapurnyan yang relatil tinggi.
“Sudah lama, Mas, Banyu Langse terkenal sebagai tempat pacaran. Mungkin itu yang membuat masyarakat sini nggak suka. Jadinya ya nggak terawat begini,” kata Yudi, warga lain yang bertemu sosialnews.com di tempat itu.
Dulu pernah, kata Yudi, Pemerintah merencanakan pembangunan Banyu Langse agar lebih layak sebagai destinasi wisata. Jalan menuju ke lokasi itu juga sudah teraspal bagus, termasuk jalan setapak di punggung tebing menuju bagian atas sungai. Tetapi Yudi tidak mengerti mengapa hingga sekarang belum ada tindak lanjut. Yudi sendiri sangat berharap tempat molek ini bisa benar-benar menjadi destinasi wisata. Selain membawa dampak ekonomis langsung masyarakat sekitarnya, ditetapkannya Banyu Langse sebagai tempat wisata akan memelihara aliran air dan lingkungannya. “Air Banyu Langse ini menjadi sumber kehidupan warga sini. Kalau nggak kerawat, lingkungannya rusak, kan ya kita yang rugi,” kata Yudi.
Bagi pengunjung sendiri, bila tidak untuk kebutuhan bercinta yang memerluka dukungan tempat romantis, Banyu Langse kurang menarik. Tidak ada apa-apa yang bisa ditemui di tempat ini selain batu, tebing padas dan air jernih. Pemandangan menarik satu-satunya adalah kerumunan gadis-gadis setempat yang sedang asyik mandi atau sekedar mencuci pakaian di sungai. Menuju ke tempat ini pun lumayan sulit karena tidak ada angkutan umum dari kota yang menuju ke sini. Jika tidak menggunakan kendaraan pribadi, angkutan satu-satunya adalah ojek. Bisa dari kompleks Masjid Al-Falah, Jl Wahidin Sudiro Husodo, atau dari perempatan patung sebelah gedung DPRD Tuban. Tapi ongkosnya lumayan mahal, Rp 15 ribu. Jarak Banyu Langse dari kota sekitar 13 KM, melewati jalanan desa yang padat dan sempit.
Makanan dan minuman juga tidak tersedia di sini. Anda harus mempersiapkannya sendiri. Legen atau towak muda dan siwalan memang banyak diproduksi warga sekitar, tetapi kebanyakan mereka menjualnya ke tempat-tempat wisata di kota seperti Makam Sunan Bonang dan Goa Akbar. Tetapi bermacam kekurangan itu tentu bukan masalah jika anda menyukai wisata petualangan atau pengagum kemolekan alam. Meski tak terawat, Banyu Langse masih terlihat molek, hanya kurang bedak dan sedikit make up. Masuk ke lokasi ini juga tak dipungut tiket, termasuk parkirnya, semua gratis. Tetapi anda harus benar-benar mengunci rapat kendaaan anda, demi keamanan.
»»  Baca Selanjutnya...

Legen, Minuman Paling Dicari Saat Buka Puasa



Bulan Puasa kali ini memberikan berkah tersendiri bagi sebagian masyarakat penjual minuman legen. Minuman yang murni diperoleh dari pohon siwalan ini, paling banyak dicari oleh masyarakat untuk menghilangkan dahaga pada saat berbuka puasa. Minggu (23/07)
“Pada saat bulan puasa seperti ini banyak sekali yang mencari minuman legen untuk berbuka puasa, kebanyakan warga dari luar Desa Boto yang datang langsung untuk mencari minuman legen yang asli.” terang Sarmuji ( 45) warga Desa Boto yang sehari-hari menjual minuman legen.
Pada momen puasa seperti ini untuk mendapatkan minuman legen banyak dijumpai di gang-gang rumah di Desa Boto Kecamatan Semanding. Desa Boto salah satu desa yang ada di Kabupaten Tuban sebagai sentral penghasil minuman legen dan buah siwalan.
“Tidak sulit pada bulan puasa saat ini untuk mendapatkan minuman legen, sebab mayoritas warga Desa Boto mempunyai pohon siwalan dan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari warga mengandalkan pohon siwalan.” Tandasnya.
“Disamping itu warga yang pada hari-hari biasa mengolah getah pohon siwalan menjadi toak pada bulan puasa seperti ini banyak yang mengolah menjadi minuman legen dan dijual di setiap gang rumah mereka,” tambahnya.
Keuntungan yang diperoleh apabila dibandingkan dengan hari-hari biasa bisa mencapai 50 persen, dalam sehari pada hari-hari biasa paling banyak bisa menjual 20 – 30 liter minuman legen dengan harga Rp. 4000/liter atau bisa dengan cara dijual perbotol isi 1,5 liter dengan harga Rp. 7000, sedangkan untuk bulan puasa minuman legen yang terjual bisa 40 – 50 liter perhari dengan harga yang sama, sehingga kalau dirupiahkan untuk hari-hari biasa para penjual minuman legen bisa mendapatkan Rp. 100.000/hari tetapi pada saat bulan puasa seperti ini bisa meraup keuntungan Rp. 150.000/hari.
“Alhamdulillah untuk hari-hari biasa paling banyak mendapatkan uang Rp. 100.000, tetapi pada saat bulan puasa pada saat ini, bisa meraup sekitar Rp. 150.000 perhari,” tandasnya.
Untuk mendapatkan 20 sampai 40 liter minuman legen, Sarmuji mempunyai sekitar 15 pohon siwalan sendiri, yang ditanam dipinggiran ladang. Sedangkan dalam sehari bisa 2 kali mengambil dari pohonya setiap pagi dan sore.
“Untuk setiap hari saya bisa mengambil legen dari pohonya 2 kali pagi dan sore , namun yang terbanyak pengambilan pertama pada pagi hari kalau disore hari tidak seberapa air legen yang didapatkan,” tuturnya.
Untuk memproduksi minuman legen ternyata tidaklah mudah, sebab dibutuhkan kebersihan wadah untuk tempat penyimpanan air yang menetes pada pohon siwalan, tidak seperti minuman toak yang tidak perlu membersihkan wadah tetesan air pada pohon siwalan.

“Untuk mengolah getah pohon siwalan menjadi legen memang cukup rumit sebab betek (wadah untuk meyimpan setiap tetesan getah) harus benar-benar bersih, sebab kalau tidak benar-benar bersih, jadinya toak tidak legen lagi.” Pungkasnya.
»»  Baca Selanjutnya...

Ekpedisi Goa Ngerong PA ACARINA SMA Negeri 1 Rengel

Pencinta Alam atau lebih dikenal dengan nama PA dalam hal ini PA ACARINA SMA Negeri 01 Rengel, adalah sebuah organisasi Pelajar yang bergerak dalam kepedulian akan kelestarian Lingkungan, Organisasi yang didirikan tepatnya 14 Agustus 2004 dengan Pembina Bapak Moch. Ali Baharudin, S,Pd.I ini sebentar lagi akan berusia genap 8 tahun, waktu yang cukup untuk perjalanan sebuah organisasi. Dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan dan pembekalan materi caving anggota baru Angkatan IX, pada 14 Juli 2012 lalu melaksanakan Ekpedisi di Goa Ngerong.

Eksistensi PA ACARINA SMA Negeri 1 Rengel Salah satunya adalah “caving”, Ekspedisi Goa. Ekspedisi Yang dilakukan di Goa ngerong, berlokasi tepatnya di Desa Rengel Kecamatan Rengel. Goa ngerong dalam sejarahnya yang dikenal Angker dengan mitos-mitos mistisnya, ternyata menyimpan sejuta keindahan dan keajaiban alam. inilah yang perlu kita ketahui. Perjalanan ekpedisi dimulai dengan mempersiapkan Perahu karet sekitar pukul 19.00 Wib, kenapa malam hari? karena jika ekspedisi goa dilakukan siang hari, diitakutkan pasokan Oksigen atau udara dalam Goa menipis dikarenakan telah habis dikonsumsi oleh jutaan kelelawar yang ada di mulut goa. Ini alasan kenapa ekspedisi goa cenderung dilakukan di malam hari, lagipula tidak ada perbedaan ekspedisi siang atau malam di dalam goa kondisinya tetap gelap.
Perjalanan mulai dilakukan sekitar pukul 19.30, 17 orang yang kesemuanya adalah laki-laki mulai memasuki goa dengan cara menaiki perahu karet. Setelah 400 meter perjalanan terhenti dan semua turun untuk mengangkan perahu karena ditengah-tengah goa terdapat bongkahan batu yang menghalang, ini dilakukan 2 kali di kedalaman 400 meter dan 700 meter. Setelah diperhentian yang ke dua, perahu ditambatkan dan perjalan menyusuri goa dilanjutkan dengan jalan kaki dikarenakan sudah tidak memungkinkan menggunakan perahu karet.
Di kedalaman sekitar 1000 meter maka langkah kita akan terhenti dengan adanya air terjun yang luar biasa indahnya. Ketinggian air terjun kurang lebih sekitar 6 meter memiliki aliran air yang sangat deras, sehingga untuk menaikinya kita memerlukan alat SRT atau Webbing sebagai media memanjat. Tingkat kesulitan dan resiko yang cukup tinggi menjadikan ekspedisi goa atau caving tidak boleh diikuti oleh pemula. Mereka yang belum memiliki skill dan pengalaman cukup, tidak diperkenankan.
Akhirnya dilanjutkan jalan kaki dengan medan yang berbatu, tajam karena tergerus air, akhirnya sampailah kita di TOP. Istilah lainya pada keadaan yang perjalanan sudah tidak dapat dilanjutkan di kedalaman sekitar 1,8 Km dalam durasi waktu total sekitar 4 jam, melelahkan memang, tetapi itu semua hilang jika kita melihat keindahan dan keajaiban yang ada di dalam goa.
Perenungan dilakukan oleh anak anak PA ACARINA di Akhir perjalan ekspedisi, dengan keadaan semua lampu dimatikan Bapak Ali (sapaan Akrabnya), Pembina Lap PA ACARINA memberikan beberapa masukan. “Kita harus mampu menjaga kelestarian alam khusunya Goa ngerong dan Mata air yang ada di dalamnya, berikan kepada masyarakat keadaan riil Goa Ngerong, sehingga kesadaran dan empati bersama muncul,” ujarnya. “Bayangkan jika mata air goa ngerong ini mati, bagaimana kondisi kehidupan masyarakat rengel akan terpengaruh.”
Di lain sisi, Pak Ali juga mengajak kita merenungkan esensi diri kita, “bahwa kita itu adalah makhluk yang lemah, yang penuh dengan dosa yang suka membuat kerusakan di muka bumi, apa yang sudah kita lakukan untuk alam tercinta,” ujarnya lagi.
Setelah doa bersama, kemudian perjalanan keluar goa pun dilakukan, tidak selama perjalanan berangkat, karena hanya dibutuhkan waktu 1.5 jam. Rasa nyeri di kaki, kedinginan, dan pegal bercampur dengan perasaan suka dan bangga karena kita telah menyelesaikan ekspedisi yang jarang sekali orang bisa melakukannya.
»»  Baca Selanjutnya...