Selasa, 31 Januari 2012

Pemkab Tuban Harus Tegas terhadap Bengkok Sekdes

Menurut SK Mendagri No.900/1301/SJ Tanggal 16 April 2009 dalam edaran itu ditegaskan, terhitung sejak mendapatkan SK Pengangkatan PNS maka Sekdes dilarang menerima Penghasilan tetap dari tanah bengkok. Walaupun demikian Pemkab Tuban belum memberikan kepastian tentang masih bolehkah sekdes menggarap tanah bengkok.

Dalam PP 72/2005 Pasal 69 disebutkan, sumber pendapatan desa terdiri atas tanah kas desa, pasar hewan, pasar desa, tambatan perahu, dan bangunan desa. Maka untuk sekdes yang telah diangkat menjadi PNS, maka sumber pendapatannya langsung ditanggung negara. Kalau sampai masih menggarap bengkok, berarti mereka mendapatkan dua sumber pendapatan. Ini tidak boleh alias dilarang. Maka pemerintah daerah setempat perlu menarik, dikembalikan menjadi aset desa karena kalau tidak maka masalah tersebut akan memicu kecemburuan diantara Perangkat Desa.
»»  Baca Selanjutnya...

Bupati Tuban Sesudah Masa Kemerdekaan



»»  Baca Selanjutnya...

Asal-usul Aksara Jawa

Aksara Jawa Klasik ( Ha Na Ca Ra Ka )

Aksara Jawa Hanacaraka termasuk ke dalam kelompok turunan aksara Brahmi, sebagaimana semua aksara Nusantara lainnya. Aksara ini memiliki kedekatan dengan aksara Bali. Aksara Brahmi sendiri merupakan turunan dari aksara assiria.
Pada bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi. Namun demikian, pengajaran modern sekarang menuliskannya di atas garis.
Aksara Jawa Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf "utama" (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan (pada).
Pada aksara Jawa hanacaraka baku terdapat 20 huruf dasar (aksara nglegena), yang biasa diurutkan menjadi suatu "cerita pendek":
  • ha na ca ra ka
  • da ta sa wa la
  • pa dha ([dha]) ja ya nya ([ɲa])
  • ma ga ba tha ([ʈa]) nga ([ŋa])
Berikut ini adalah Huruf Dasar (aksara nglegena):

Huruf pasangan (pasangan)

Pasangan dipakai untuk menekan vokal konsonan di depannya. Sebagai contoh, untuk menuliskan mangan sega akan diperlukan pas
angan untuk "se" agar "n" pada mangan tidak bersuara. Tanpa pasangan "s" tulisan akan terbaca manganasega.
Tatacara penulisan Jawa Hanacaraka tidak mengenal Spasi, sehingga penggunaan pasangan dapat memperjelas kluster kata.
Berikut ini adalah daftar pasangan:

Huruf utama (aksara murda)

Huruf vokal depan (aksara swara)

Huruf tambahan (aksara rèkan)

hanacaraka gaya jawa dan hanacaraka versi bali

from : www.id.wikipedia.org

»»  Baca Selanjutnya...

Senin, 30 Januari 2012

Sang Pemberdaya yang Tak Berdaya

Secara sederhana, bila kita mengacu kata pemberdayaan (empowering) selama ini adalah sebuah proses untuk menguatkan serta mendayagunakan agar apa yang sebelumnya tidak berdaya menjadi berdaya. Berdaya dapat bersifat individual maupun juga bersifat tatanan sosial kemasyarakatan. Dapat pula disebut sebagai kemandirian, membangun potensi yang dimilikinya, mengidentifikasi masalah serta sanggup menemukan problem solving-nya sendiri yang mungkin berasal dari dalam diri maupun yang ada di luar diri. Kalau meminjam kata Bung Karno adalah “Berdikari”. Suatu manifesto yang berarti “berdiri di kaki sendiri”. Yaitu suatu kesanggupan dan juga etos untuk dapat menggerakkan, membangkitkan semangat juang untuk maju secara kolektif dan “gagah” dalam menghadapi masalah. Masalah bisa macam-macam, bisa masalah pribadi ataupun masalah sosial yang peta persoalannya mungkin juga adalah kombinasi dari keduanya. Bisa datang dari internal masyarakat namun juga ada yang dari faktor-faktor eksternal di luar masyarakat.
 
Term pemberdayaan, menjadi populer ketika dalam sebuah survei dan penelitian ilmiah yang di dasarkan pada Human Development Index (HDI) menampilkan bahwa index manusia Indonesia rata-rata masih tergolong menengah di antara negara-negara lain di dunia. Masih jauh di bawah negara-negara maju di eropa dan Amerika. Namun sedikit lebih baik di atas negara-negara Afrika yang hanya memilki lautan gurun pasir saja. Bandingkan dengan Indonesia, yang memiliki sumber daya yang melimpah ruah namun masih saja miskin. Bahkan masih kalah dengan negara serumpun Malaysia dan ironisnya kalah juga dengan negara “kecamatan” Singapura.

Dari itulah, di tarik benang merah penyebab masalahnya. Dan salah satu yang menjadi faktor (katanya) adalah ketidakberdayaan masyarakat Indonesia yang mencakup ketidakberdayaan ekonomi, sosial dan politik. 30 Tahun di bawah rezim yang represif, membuat masyarakat Indonesia, gagal dalam menghadapi arus modernisasi yang datang menyerbu bagai air bah bergulung-gulung. Rakyat Indonesia, tidak benar-benar bisa memahami, mengetahui keunggulan sumber daya lokal maupun potensi yang luar biasa ini. Untuk itulah maka, diperlukan pendobrak kejumudan cara berpikir masyarakat untuk membawa masyarakat indonesia menjadi kondisi masyarakat yang berdaya.

Maka disebarlah, orang-orang pilihan. Mempunyai kualifikasi dan pengalaman dalam hal pemberdayaan masyarakat. Strategi ulung yang mampu mengakomodir semua pihak, mampu diterima di semua tingkatan dan golongan serta selalu aktif mencurahkan energi, fikiran untuk masyarakat, sanggup menjadi pelayan masyarakat. Mempunyai ketrampilan teknis dan pengetahuan yang dapat di berikan untuk kemajuan masyarakat. Bahkan kalau perlu pantang makan bila rakyat belum makan. Tidak akan bisa tidur nyenyak bila masyarakat belum memperoleh hak-haknya. Pokoknya segala yang memenuhi arasy otaknya adalah tentang masyarakat. Mereka menyandang amanah selayaknya wali atau nabi utusan Tuhan yang bertugas membawa manusia dari jaman jahiliyah atau kebodohan menuju jaman “kepintaran”. Sehingga idealnya seorang pemberdaya masyarakat adalah seorang yang memang benar-benar berdaya dan sanggup mengatasi segala ketidakberdayaan. Karena tidak logis apabila seorang yang tidak berdaya akan sanggup mengatasi ketidakberdayaan di luar dirinya. ”Ngurus awake dewe wae gak iso kok meh ngurus wong liyo”.

Pemberdaya masyarakat menyandang amanah yang sangat berat. Di serang dari bawah dan di tekan dari atas. Kondisi masyarakat yang masih mualaf dalam hal demokrasi, merupakan tantangan yang tidak ringan. Cerita tentang seorang fasilitator yang di intervensi, di ancam baik secara verbal maupun fisik, sudah merupakan makanan sehari-hari yang harus dihadapi. Seorang pemberdaya masyarakat sesuai dengan yang telah di amanahkan oleh MDGS (Milenium Development Goals) harus dapat mengurangi kemiskinan di wilayah tugasnya masing-masing. Meskipun agak sedikit kurang masuk akal, bagaimana mungkin hanya dengan pemberian bantuan 1 milyar s.d 3 milyar, dapat langsung mengubah masyarakat menjadi berdaya. Lha wong yang tiap tahun diberi dana bantuan saja belum tentu masyarakatnya tiba-tiba menjadi sejahtera. Namun karena itu sudah merupakan tugas dan tanggung jawabnya, pemberdaya masyarakat mau tidak mau tetap harus sanggup dan siap dalam melaksanakan tugas mulia ini.

Mungkin karena dirasa sebagai seorang yang harus multi talented, agent culture of change, pendekar mumpuni yang sanggup menguasai segala bidang, maka seorang pemberdaya merasa kelelahan. Capek. Melihat realita yang di jumpai di lapangan ternyata njomplang dan seringkali malah bertabrakan dengan teori-teori pemberdayaan baku. Belakangan baru di ketahui bahwa tidak semudah dan segampang yang tercantum dalam buku teknis dan pedoman. Teori pemberdayaan terkadang dirasa tidak relevan lagi di hadang keruwetan kondisi masyarakat.

Banyak faktor seperti faktor struktural, kultural, birokratis serta faktor-faktor yang tidak akan terlacak oleh ilmu-ilmu sosial karena memang akan sangat sulit di identifikasi. Namun jelas, bahwa permasalahan yang menghadang akan sangat complicated. Anda akan mendapati 10 persen yang dilaporkan dan di umumkan dan menyimpan 90 persen hal-hal yang tabu untuk di ungkapkan kepada publik.

Dalam situasi seperti itu yang berlangsung selama bertahun-tahun, membuat nilai pemberdayaan mengalami distorsi dan reduksi. Nilai pemberdayaan bukan lagi menjadi nilai yang kualitatif, namun sudah bergeser menjadi nilai normatif saja. Sudah tidak peduli lagi apakah berpihak kepada masyarakat miskin atau tidak, tidak perduli apakah kualitas proses pengambilan keputusan merupakan representasi demokrasi atau tidak, karena yang terpenting adalah di atas kertas kerja saja yang penuh dengan data manipulatif. Dan puncaknya adalah kita sanggup menyelenggarakan sebuah musyawarah besar yang ternyata merupakan sandiwara serta rekayasa belaka.

Kondisi ini sangat ironis, karena sebagai pemberdaya kita sendiri malah tidak berdaya. Tidak berdaya menghadapi tekanan, beban tahapan program, laporan yang absurd sehingga menyebabkan ruh moral dan etika pemberdaya terselip di tengah-tengah himpitan kegiatan. Kita di hadapkan dengan pilihan simalakama, bekerja dengan nilai dan etika namun progres akan mengalami keterlambatan ataukah bekerja di atas meja yang semuanya dapat di olah dan dibuat tanpa kita melihat kondisi sejati masyarakat namun keuntungannya adalah akan meningkatkan citra diri kita kepada program. Keterlambatan laporan akan membuat anda terancam, dan atasan akan menganggap anda tidak becus bekerja secara profesional. Sedangkan indikator evaluasi kinerja juga tidak mampu menyentuh aspek yang murni karena disana sini karena berbias dengan subjektivitas.

Di tengah keruwetan tersebut, pemberdaya menjadi oleng dan mengapung-apung di tengah gelombang tahapan program kegiatan. Semuanya harus di kerjakan, dilaksanakan, diselesaikan dan di laporkan. Tidak hanya tuntutan atasan namun juga keadaan masyarakat yang menuntut pendampingan. Belum selesai satu sudah muncul tugas dan beban yang lain. Belum lagi di tambah permasalahan di dalam tubuh internal yang juga harus di selesaikan dan juga tetap di laporkan. Para pelaku pemberdayaan, menjadi malah sibuk berkutat, berdiskusi, berdebat, sampai melupakan esensi pemberdayaan itu sendiri. Kita seolah-olah harus mampu apa saja, siap kapan saja, dan tidak boleh mengeluh.

Sehingga bukanlah hal yang aneh, apabila di balik (katanya) kesuksesan program namun di belakang layar, kita sering mendengar celotehan bernada minor. “Kalau suatu pekerjaan dikerjakan, maka pekerjaan itu akan sedikit-demi sedikit terselesaikan. Namun bila disini, semakin suatu pekerjaan itu dikerjakan, bukan malah selesai namun malah akan tambah semakin banyak pekerjaan….” Kata pelaku di tingkat desa.

Bahkan terkadang kita sering mendengar anekdot : “Kalo seperti ini bukan pemberdayaan namun lebih tepat diperdayai. Karena bukan semakin kita berdaya namun malah semakin bingung karena kebijakan sering tidak konsisten dan kurang relevan dengan kondisi di lapangan.” 
“Kita bekerja kepada antek Kumpeni yang tidak punya hati nurani. ” Kata seseorang. “ Tidak boleh melakukan sedikit kesalahan apapun. Karena satu kesalahan yang kita lakukan akan membumihanguskan seluruh kinerja yang telah kita hasilkan.”
“Tidak sesuai dengan Undang-undang Ketenagakerjaan, hak-hak kita diperkosa…” Tambah seseorang pemberdaya yang sudah senior.
“Kita disuruh mengentaskan kemiskinan tapi tidak di beri reward dan jaminan keamanan hari tua. Bila program ini berhasil kita sendiri malah akan menjadi miskin, menjadi pengangguran karena kita terkena PHK.”

Bermacam-macam lagi uneg-unegnya yang masalahnya menggumpal dari dalam mereka masing-masing yang bersumber dari kekesalan dan pressure beban pekerjaan yang tidak dimengerti harus di salurkan ke arah mana amarah tersebut. Karena toh bila terpaksanya dikembalikan lagi juga banyak yang tidak berani nyali. Karena perjanjian kontraknya jelas. Silahkan angkat kaki bila tidak berminat disini.

Dari satu sisi saja sudah dapat kita identifikasi ketidakberdayaan dalam diri kita. Alih-alih memberdayakan masyarakat, memberdayakan diri kita sendiri saja masih tanda tanya besar. Terlihat dari banyaknya hal yang ternyata tidak sanggup kita selesaikan sehingga menjadi kebuntuan.

Tantangannya adalah apakah kita akan terus berkeluh kesah, terhadap pekerjaan kita yang semakin memperlihatkan ketidakberdayaan kita. Ataukah kita memulai menata kembali nilai pemberdayaan untuk dapat diterapkan kepada masyarakat yang tidak melanggar mekanisme kebijakan namun dapat diterima dengan hati dan bukan hanya administrasi. Setidaknya mari kita memulai dari kita sendiri.
»»  Baca Selanjutnya...

Sabtu, 28 Januari 2012

PELANTIKAN KETUA TIM PENGGERAK PKK KECAMATAN DALAM WILAYAH KABUPATEN TUBAN

Sejalan dengan pergeseran dan pergantian Jabatan beberapa Camat di Kabupaten Tuban, Ketua Tim Penggerak PKK yang notabenenya Istri Camat juga mengalami pergeseran dan pergantian pula. Acara ini dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 25 Januari 2012  bertempat di Gedung Korpri Kompleks Pendopo Krido Manunggal.

Ketua Tim Penggerak PKK Kecamatan dilantik secara resmi oleh Ibu Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten yang juga isteri Bupati Tuban Ny. Hj. Qodriyah Fathul Huda. Selain dihadiri TP PKK Kabupaten, perwakilan Dharma Wanita Persatuan, Persit dan Bhayangkari acara ini dihadiri pula Camat Sekabupaten Tuban.

Dalam sambutannya Bupati Tuban, H. Fathul Huda menyambut baik pelantikan ini, apalagi yang melantik adalah Isteri beliau sendiri yang untuk pertama kalinya semenjak dilantik sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten. Menurut Pak Huda wanita adalah Sumber Kemuliaan tapi juga bisa jadi sumber kehancuran. Diharapkan PKK adalah sumber dari kemuliaan itu karena PKK memiliki tugas mulia diberbagai bidang seperti Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi.

Dalam bidang Pendidikan, PKK diharapkan dapat mendukung pendidikan dasar untuk anak-anak seperti PAUD sebagai modal mereka kedepan. Dalam bidang Kesehatan PKK dituntut untuk bisa menghidupkan kembali POSYANDU untuk membantu Ibu yang melahirkan dan akan melahirkan sehingga mengurangi angka kematian ibu dan anak saat proses persalinan. Di bidang Ekonomi diharapkan PKK dapat membantu Usaha Kecil Menengah yang dilakukan oleh kaum ibu.
»»  Baca Selanjutnya...

Dulu SBY Minta DPR Berhemat, Kini Istana Bangun Parkir Rp10,6 M


Masih ingat dengan proyek gedung baru DPR? Proyek yang taksiran awalnya akan menghabiskan anggaran Rp1,8 triliun mendapat sorotan publik. Gedung mewah yang konsepnya dibangun 36 lantai akhirnya dibatalkan. Padahal anggaran untuk proyek ini sudah turun hingga harga akhir menjadi Rp777 miliar. 

Bukan cuma publik, pengamat ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati parlemen, sorotan juga datang dari Istana. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara langsung memberikan tanggapan. Dalam jumpa pers di Kantor Presiden, SBY secara khusus meluangkan waktu menanggapi proyek gedung baru DPR yang sudah jadi polemik. Kala itu, dengan tegas Presiden SBY meminta DPR mengkaji ulang pembangunan gedung baru.

"Saya menginstruksikan, setelah dilakukan pengecekan rencana pembangunan gedung dan fasilitas yang tidak memenuhi ketentuan yang dikeluarkan, bahkan dalam bahasa saya tidak memenuhi standar kepatutan, agar ditunda dulu, untuk dilakukan revisi penyesuaian, bahkan barangkali kalau memang tidak sangat diperlukan bisa ditunda dan dibatalkan," kata SBY, Kamis, 7 April 2011. 

Dalam pernyataannya, Presiden SBY juga meminta kementerian dan pemerintah daerah berpikir ulang untuk mengajukan proyek yang bakal jadi fasilitas penunjang kegiatan. Presiden juga mengingatkan pejabat negara dan pejabat daerah agar lebih memperhatikan kondisi masyarakat.

"Saya masih melihat gedung dan bangunan yang dibangun, baik di tingkat pusat juga di daerah, bahkan yang mencolok di beberapa daerah termasuk wisma dan rumah jabatan, yang menurut saya, setelah saya lihat langsung itu berlebihan, mewah. Sementara di sekelilingnya kalau di daerah itu prasarana publik justru kurang, apakah air bersih, apakah fasilitas jalan, puskesmas, prasarana pendidikan," imbuh SBY. 

SBY saat itu juga menyinggung Instruksi Presiden (Inpres) yang dia keluarkan. Inpres Nomor 7 Tahun 2011 itu berjudul Penghematan Belanja Kementerian/Lembaga tahun Anggaran 2011.

"APBN 2011 tahun berjalan atas instruksi No. 7 Tahun 2011 yang saya keluarkan itu, kita telah melakukan sejumlah penghematan, dan tercatat sekarang ini bisa dihemat dana sebanyak Rp16,8 triliun yang pada gilirannya akan kita bahas bersama DPR untuk pengalihan atau penggunaan yang lebih tepat," jelasnya.

Lalu apa yang terjadi hampir setahun kemudian? Berdasarkan data yang diperoleh Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), Sekretariat Negara tercatat punya alokasi anggaran untuk sederet proyek. 

FITRA merilis proyek areal parkir di Istana yang anggarannya, Rp 12 miliar. Data ini dibantah. Kepala Biro Tata Usaha dan Humas Kementerian Sekretariat Negara Sugiri kemarin menjelaskan proyek areal parkir hanya menelan Rp10,6 miliar. 

Sugiri menjelaskan pembangunan parkir dilingkungan Istana berbeda dengan di DPR, hal itu karena lahan parkir di Istana dibangun di bawah tanah menggunakan konstruksi beton yang terdiri dari lantai dasar dan basement totalnya 3270 m2. 

"Selain itu fasilitas bukan hanya untuk parkir tetapi juga musala dan koperasi. Lapangan parkir bisa menampung 1.000 motor, ada taman juga," tuturnya.

Tapi bukan cuma proyek parkir, FITRA juga merilis anggaran renovasi Istana Kepresidenan di Jakarta, Bogor, Cipanas,Yogyakarta, dan Bali. Total anggarannya Rp21,9 miliar. 

Peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam menyebut keborosan Istana menunjukan ketidakkonsitenan Presiden SBY dalam pelaksanaan kebijakan penghematan anggaran. 

"Jadi sia-sia imbauan SBY soal ajakan hentikan korupsi dan hemat anggaran. Presiden SBY pernah mengeluarkan inpres penghematan APBN 2011, kok di rumahnya sendiri justru melakukan pemborosan anggaran. Ini contoh tidak konsistennya Presiden SBY," kata Roy Salam kepada okezone tadi malam.

Sumber Berita : www.okezone.com
»»  Baca Selanjutnya...

Dengan 100 Rupiah, Enduh Mengubah Desa

Enduh Nuhudawi
Mungkin kita tidak akan percaya dengan uang 100 rupiah bisa mengubah wajah desa. Entah kebetulan atau tidak, kondisi Desa Situ Udik di Kecamatan Cibungbulan, Kabupaten Bogor, memang tidak jauh dengan namanya. Kemiskinan menjerat cukup banyak warganya.
Namun sejak 2009, desa berpenduduk 14 ribu jiwa dengan 1.045 orang di antaranya di golongan prasejahtera itu menjadi sorotan nasional. Bahkan tahun itu Desa Situ Udik menjadi desa percontohan se-Jawa Barat.
Warga Desa Situ Udik memang masih banyak yang terbelit kemiskinan. Namun, sejak tiga tahun lalu sudah 68 rumah tidak layak huni (RTLH) berhasil diperbaiki secara bergotong-royong oleh warga. Perbaikan itu bisa terwujud karena saban hari setiap warga mengumpulkan uang Rp100.
Ada kotak kayu layaknya kotak amal yang ada di masjid atau buku catatan sumbangan yang diedarkan pengurus RT ke rumah-rumah. Di akhir bulan, uang yang dikumpulkan ke perangkat desa itu disalurkan untuk pembangunan atau perbaikan rumah keluarga miskin.
Kegiatan yang dinamai Serumpi yang berasal dari kata ‘reriungan sarumpi’ ini memang tidak muncul begitu saja. Ini merupakan hasil gagasan sang kepala desa (kades), Enduh Nuhudawi.
“Konsep saya tiga saja, gotong-royong, kebersamaan, dan kepedulian serta rasa ingin maju. Di mana pun (bisa) berhasil,” kata pria 49 tahun ini. Konsep itulah yang diluncurkan Enduh saat pencalonan kades pada 2008.
Namun, ide nyata tentang kotak Serumpi itu didapat setelah Enduh berkeliling menyaksikan kondisi desa. Hal itu sebenarnya dilakukan untuk meyakinkan dirinya menerima desakan dari tokoh desa agar ia mau menjadi kades.
Sebagai pemilik tiga toko sembako, Enduh mengaku pada awalnya tidak ada keinginan menjadi kades. Ayah empat anak ini pun mencari panggilan apa yang membuatnya perlu menjadi kades di desa itu. Nyatanya selama berkeliling desa yang ia temui adalah berbagai masalah sosial. Namun hal itu justru meyakinkannya.
”Satu bulan saya muter tiap hari. Di situ saya banyak temuan, di antaranya banyak RTLH, masyarakat sakit tidak bisa berobat. Di situ akhirnya saya mau.” Setelah terpilih jadi kades, Enduh langsung mengemukakan konsep program pengumpulan Rp100 tersebut.
Awalnya dengan uang sendiri.
Awalnya pelaksanaan program Serumpi tidak mudah. Warga desa banyak yang tidak percaya, baik terhadap keberhasilan program maupun soal penggunaan uang itu. Karena tidak ingin idenya gagal, Enduh pun melaksanakan aksi rahasia yakni memperbaiki dua rumah keluarga miskin dengan uangnya sendiri. Namun, kepada masyarakat ia katakan bahwa perbaikan itu merupakan hasil pengumpulan uang Rp100.
“Waktu itu saya habis delapan jutaan. Saya keliling ke pengajian dan saya sampaikan bahwa uang dari seratus rupiah itu sudah bangun dua rumah,” tuturnya. Cara itu terbukti jitu. Keberhasilannya jadi pembicaraan warga dan akhirnya mereka mulai antusias bersedekah.
Awal 2009, wadah sumbangan tidak perlu selalu diedarkan karena sudah ada di rumah-rumah warga. Setiap bulan, dari 43 RT yang ada di wilayah tersebut, rata-rata terkumpul uang Rp4 juta. Bahkan pernah pula mencapai Rp8 juta.
Program yang dilakukan Enduh kemudian mendapat dukungan pemerintah kabupaten. Sebanyak 50 rumah lainnya dapat diperbaiki dengan dana pemkab.
Pemkab Bogor pada 2012 ini menargetkan perbaikan 4.000 rumah. Jumlah itu merupakan bagian dari 49.093 RTLH yang terdata pada 2010.
Enduh menetapkan target setiap bulan harus ada rumah yang dibangun atau diperbaiki secara mandiri. Biaya yang dianggarkan untuk tiap rumah berbeda-beda, sekitar Rp2,5 juta – Rp6 juta.
Umumnya perbaikan yang berbiaya besar disebabkan tidak ada faktor internal penunjang, misal dukungan finansial dari anak-anak pemilik rumah. Enduh memang berusaha untuk melibatkan pemilik rumah menyumbang dana untuk mendidik kemandirian.
“Masyarakat jangan disuapin saja. Malah uang ini harusnya berkembang. Bedah rumah ini enggak 100% tapi 80%. Karena kalau 100%, itu tidak mendidik keluarganya.”
Enduh juga mengeluarkan sanksi bagi masyarakat yang enggan menyumbang untuk fakir miskin. Namun, sebagaimana sosialisasi Serumpi, sanksi pun menggunakan pendekatan agama. “Saya bilang sanksinya didoakan ramai-ramai di mesjid supaya belangsak. Warga pun takut,” cetusnya.
Kini meski total telah 118 RTLH diperbaiki, Serumpi belum akan berhenti. Berdasarkan pendataan, Enduh mengatakan masih ada 173 RTLH belum tersentuh. Untuk itu, Enduh pun bercita-cita mengumpulkan Rp15 juta per bulan agar rumah-rumah itu rampung dalam waktu setahun.
»»  Baca Selanjutnya...

RUU Desa Versi Pemerintah Akan Membunuh Desa

Dosen Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM. Ari Dwipayana, pada RUU pemerintah terdapat ketidaksambungan substansi dalam naskah akademik karena berbagai argumen yang dipaparkan di naskah akademik tidak diturunkan dalam rumusan pasal-pasal dalam UU tersebut. Selain itu, RUU versi Pemerintah tidak memiliki visi, bahkan malah “membunuh desa”. “Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya terobosan terhadap problematika pemerintahan di desa dan juga pembangunan desa yang tanpa aset dan akses”, papar dosen UGM ini, Selasa (24/01/2012).

Dalam kesempatan yang sama Sutoro Eko berpendapat bahwa, “RUU Desa versi pemerintah ini mengalami kemunduran. Hal tersebut karena substansi RUU Desa tampak tidak sepadan dengan suara otonomi desa yang telah membahana di seluruh pelosok negeri”, jelas Eko membuka argumennya. Di dalam pembahasannya, ia menjelaskan cara memandang desa dari beberapa sisi seperti halnya sisi administratif, sisi dimana desa merupakan kepanjangan tangan negara, atau disebut sebagai desa korporatis. “RUU desa versi pemerintah sangat kuat dipengaruhi oleh cara pandang korporatis ini”, tambahnya.

Bertempat di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, tim pakar lainnya yaitu B. Hestu CH dan Robert Endi Jaweng (Manajer Hubungan Eksternal KPPOD) memaparkan pokok-pokok permasalahan pengaturan desa yang seharusnya bisa teratasi dengan adanya RUU Desa ini. Dengan berbagai kekurangan dan ketidakjelasan  RUU Desa versi pemerintah, sudah jelaslah penolakan yang akan didapat. Untuk itu, DPD RI perlu mendesak DPR RI terutama Komisi II untuk membuka diri dan menyerap berbagai kritik yang muncul atas draft RUU pemerintah.
»»  Baca Selanjutnya...

Penggalian Potensi Desa vs Pemda Sebuah Ironi

Sabtu, 28 Januari 2012             
Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui amanat UUD 1945 berkeinginan untuk tercapainya kesejahteraan rakyatnya. Seluruh UU atau peraturan yang ada sebagai pengejawantahan UUD tersebut juga diharuskan merujuk kepada UUD 1945 sebagai induknya. Kesejahteraan di NKRI ini harus dapat diwujudkan di segenap aspek kehidupan berdasarkan falsafah negara Indonesia. Cakupan wilayah pun tidak boleh luput dari target capaian amanat di atas. Pemerintah RI telah berupaya dalam sebagian konsepnya tentang pengurangan angka kemiskinan, kebodohan dan pengangguran yang menjadi salah satu penyebab tidak dapat diraihnya sebuah kesejahteraan. Konsep tersebut telah dituangkan menjadi program yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah. 

Sebuah permasalahan terkait dalam hal ini ketika dibicarakan dalam tataran Pemerintahan Daerah, termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten dan Pemerintahan Desa yang mendapatkan tugas sebagai kepanjangan tangan pemerintahan di atasnya. Permasalahan tersebut adalah ketika masih terwujudnya realita kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan pengangguran yang masih menjadi potret di daerah atau di desa yang menjadi wilayah sebuah pemerintahan daerah. Bahkan Desa adalah merupakan wilayah terbesar di Indonesia.

Ada hubungan sistematis antara kesejahteraan, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, pengangguran dan penggalian potensi. Di antaranya, dengan keterbelakangan, kebodohan, pengangguran dan kemiskinan maka penggalian potensi yang akan dapat menghasilkan beberapa unsur kesejahteraan tidak dapat terlaksana dengan baik atau tidak bisa terlaksana sama sekali. Berkaitan dengan hal ini, bahwa bukan hanya rakyat atau masyarakat saja yang memang berkewajiban memandirikan sendiri terhadap potensi yang dimilikinya, namun sebagai sebuah komunitas yang telah melakukan perjanjian bersama sebagai sebuah negara serta sepakat untuk memilih pemimpinnya maka pemerintah yang paling pertama harus memenuhi tugas untuk memandirikan masyarakat supaya dapat bertopang pada kekuatan sendiri dalam meraih kesejahteraannya. Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa sebagai unsur pemerintahan terdekat dengan masyarakat tentu dituntut untuk itu. Dan di sinilah akan muncul beberapa hal penting berkaitan dengan hal di atas, terutama menyoroti yang kadang masih ada yang perlu diperbaiki, dan kalau disandingkan pun akan sangat bertolak belakang dengan capaian yang akan berbeda. 

Pemerintahan Daerah (Pemda) dan Pemerintahan Desa (Pemdes) sebagai telah disinggung tadi adalah unsur pemerintahan terdekat kepada masyarakat. Masyarakat sebagai obyek program pencapaian kesejahteraan memerlukan pembinaan, pengarahan, pengawasan, atau minimal pendampingan dan pengawasannya. Pemda dan Pemdes harus punya kemampuan membina, mengarahkan, mengawasi, mendampingi. Kemampuan tersebut harus dimiliki dan tidak boleh dianggap sepele, sebab jika tidak demikian maka capaian akan menjadi gagal. 

Dan pada realitanya di sini pula munculnya salah satu permasalahan yang bisa saja dianggap sangat besar. Dengan posisi Pemdes yang ‘bersentuhan langsung’ dengan masyarakat atau rakyat tentu kemampuan Pemdes dalam hal tersebut harus benar-benar mampu dibanding posisi Pemda yang ‘tidak bersentuhan langsung’ dengan masyarakat atau rakyat, dan lebih cenderung ke berkegiatan di bidang konsep, kegiatan skala besar atau sekedar pengawasan. Maka dengan posisi sangat vital tersebut Pemdes diharapkan memiliki kemampuan tersebut guna membina, mengarahkan, mendampingi dan mengawasi masyarakat dalam menggali potensi dirinya dan lingkungannya sebagai sarana tercapainya kesejahteraan bagi mereka perorang atau bagi mereka sebagai sebuah komunitas di sebuah desa. Tapi ternyata harapan yang demikian masih jauh sekali dari harapan. 

Dimulai dari tahap awal perekrutan personalia Pemdes masih terkendala oleh UU dan peraturan di bawahnya di antaranya dalam persyaratan pendidikan seorang calon personalia Pemdes, walaupun disyaratkan dengan minimal tingkat pendidikan tapi hal itu ikut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh persyaratan lainnya sehingga untuk merekrut sumber daya manusia yang akan menjadi personalia Pemdes yang punya kemampuan yang diharapkan tidak terpenuhi. Pada tahapan berikutnya adalah realita kurang intensifnya pemberdayaan SDM yang telah menjadi personalia Pemdes. Status pekerjaan, honorerkah, sukwan, buruh, tenaga kontrak atau PNS-kah dengan segala realisasi kesejahteraannya maka akan juga mempengaruhi kemampuan mereka ketika mereka sendiri karena ketidakmenentuan status dan kesejahteraan, maka konsentrasi kemampuan itu sendiri akan berkurang. Yang tidak kalah penting adalah munculnya ketidak-tertarikan masyarakat yang ber-SDM cukup untuk masuk ke personalia Pemdes. Bisa saja ada SDM bagus yang tertarik dengan masuk ke dalamnya, namun begitu mengetahui keadaan yang sebenarnya mereka banyak yang kecewa dan akumulasi kekecewaan tersebut terdengar nyaring pada saat-saat ini dengan munculnya pergerakan personalia Pemdes. 

Realita di atas menunjukan arti penting Pemdes namun kurang berdaya. Bila disandingkan atau bahkan dihadapkan dengan posisi Pemda dalam tugasnya yang ada perbedaan dengan tujuan sama, maka akan tidak sebanding atau jauh dari harapan untuk tercapainya tujuan. Sebab, personalia Pemda dengan otonomi yang sama namun persayaratan perekrutan, SDM yang dimiliki, pembinaan yang terarah, status dan kesejahteraan yang jelas dan mencukupi maka sangat berbanding terbalik dengan personalia Pemdes. Dan secara logika seharusnya Pemda lebih dapat menggali potensi daerah bersama masyarakatnya dibandingkan dengan Pemdes, namun yang seringkali terdengar adalah himbauan agar Pemdes dapat lebih baik menggali potensi masyarakat desa dan lingkungannya, dibanding himbauan agar Pemda dapat lebih baik dalam menggali potensi masyarakat dan lingkungannya, tapi di sisi lain yang sempat menjadi wacana saat terkini adalah banyaknya Pemda yang pengeluaran anggarannya lebih besar pasak dari pada tiang, dan suka bernyanyi dengan lagu ‘defisit’ anggaran

Kalau realita demikian, siapakah yang bertanggungjawab terhadap lemahnya sistem/aturandan lemahnya kemajuan program ini pada tiap tahap pembangunannya? Mendagrikah atau Presidenkah, atau juga termasuk legislatifnya?
»»  Baca Selanjutnya...

Rabu, 25 Januari 2012

Badai Matahari Tahun 2012

Gambar Badai Matahari
















Beredar pesan melalui SMS dan BlackBerry Messenger (BBM) nanti malam pukul 23.00 WIB akan terjadi puncak badai Matahari. Saat peristiwa terjadi, suhu Bumi akan meningkat dan berbahaya jika menggunakan HP. Namun pesan ini hoax alias kabar bohong.


"Bahwa akan ada radiasi dari Matahari yang membahayakan dan bisa merusak perangkat telepon, jadi jangan menelepon malam nanti, itu kabar bohong," kata Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (25/1/2012).

Dia menjelaskan secara umum badai Matahari terjadi pada 23 Januari dan dampaknya dirasakan pada 24 Januari pukul 21-22.00 WIB. Peristiwa hanya berlangsung beberapa jam, setelah itu keadaan kembali normal. Umumnya fenomena alam ini berdampak pada orbit satelit. Namun menurut Djamaluddin sejauh ini belum ada laporan gangguan pada satelit.

"Manusia di Bumi dan perangkat teknologi yang digunakannya aman dari dampak badai Matahari, betapa pun kuatnya. Karena Bumi dilindungi magnetosfer atau lapisan magnet dan terlindungi dari radiasinya karena ada atmosfer," jelas alumnus Universitas Kyoto, Jepang, ini.

Ditambahkan dia, yang cukup berbahaya saat badai matahari terjadi adalah ketika astronot berada di laboratorium antariksa. Maka itu ketika peristiwa itu terjadi, astronot diminta masuk ke ruang yang aman. Badai Matahari juga bisa mengancam penumpang pesawat yang melintasi wilayah kutub, karenanya pesawat lintas kutub dialihkan jalurnya.

"Orang yang menggunakan telepon, penerimaan siaran TV, ATM yang menggunakan satelit tidak terganggu. Yang terganggu adalah terputusnya layanan satelit. Tapi sepertinya kemarin tidak ada laporan," ucap Djamaluddin.

Dijelaskannya, badai Matahari pertama yang tergolong cukup kuat berupa ledakan flare berskala M8-9. Untuk ini ada yang menyebut M8,3 atau M8,7 atau M9. Ledakan terjadi pada 23 Januari 2012 pukul 03.59 UT atau 10.59 WIB. Kelas M tersebut sebenarnya tergolong kelas menengah.

Meski demikian, kelas M ini mendekati kelas ekstrem atau X, sehingga cukup berdampak pada Bumi. Flare berasal dari daerah aktif NOAA 1402 berupa bintik matahari besar di kanan atas piringan Matahari dan tampak sebagai letupan terang.

Djamaluddin menambahkan flare diikuti CME atau Coronal Mass Ejection, yakni lontaran massa dari korona matahari, terutama proton dengan kecepatan tinggi. Kecepatannya mencapai 1.400 km/detik. Lontaran massa ini diperkirakan menjangkau jarak sepanjang Pulau Jawa hanya dalam waktu satu detik. Partikel bermuatan dari Matahari itu tampak seperti hujan salju, yang berarti mengarah ke arah Bumi. Partikel tersebut baru mencapai Indonesia pada 24 Januari malam.

»»  Baca Selanjutnya...

Musrenbangdes Nguruan Tahun 2013




Musrenbangdes 2013

Kegiatan  Musrenbangdes kembali digelar di awal tahun baru ini. Rabu (25/01/2012) hari ini bertempat di Balai Desa Nguruan. Musrenbangdes ini merupakan lanjutan dari musrenbang tahun lalu yang sudah terkumpul menjadi satu dalam RPJMDes. 

Musrenbangdes hari ini diikuti oleh 60 orang yang hadir, terdiri dari : pemuka agama, tokoh masyarakat, BPD, RT/RW, LPMD, PKK, Karang Taruna, KPMD dan TPKD. Tampak pula Pak Affandi selaku PL dari PNPM-MP kecamatan Soko. Dalam musyawarah tersebut ada beberapa usulan dari peserta yang meliputi bidang Pendidikan, Kesehatan, Sarana-Prasarana/Infrastruktur, Pertanian dan Sosial Budaya. 

Kegiatan Musrenbangdes tahun 2013 di Desa Nguruan berlangsung dari pukul 10.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB. Dari hasil musyawarah peserta  yang hadir terdapat usulan yang dalam Musrenbangdes tahun lalu belum diusulkan, diantaranya antara lain pembangunan TK Dharma Wanita dusun Bulung, Pembangunan Polindes Dusun Bulung, Pembangunan Gedung PAUD Desa Nguruan, Pembangunan Saluran Irigasi Dukuh Tunjungan, Pembangunan Jalan di dusun Bulung, Pengadaan Listrik di dukuh Mahbang. Semua usulan tersebut ditampung untuk dikaji ulang atau di review menjadi daftar prioritas usulan desa yang akan dibawa ke Musrenbangkec tahun 2013, sedangkan daftar prioritas usulan desa ke PNPM-MP tahun 2013 adalah pengaspalan jalan lingkungan Talun Jati dusun Bulung RT.07-08 / RW.03 dan Pembangunan Gedung Polindes dusun Bulung RT.06/RW.03.  (by : jogoboyo)
»»  Baca Selanjutnya...

Kades Tuntut Modin Baru dan Pencairan ADD lebih Awal

Kepala Desa se-Kabupaten Tuban menuntut pemkab setempat segera mengganti motor dinas (modin). Sebab modin yang selama ini diperuntukkan kepala desa kondisinya sudah memprihatinkan dan kurang layak dipakai. Maklum, karena modin yang selama ini dipakai usianya sudah lebih dari sembilan tahun. “Sepeda motor yang sekarang dipakai kendaraan dinas kepala desa itu, jika mesinnya dihidupkan suaranya gemuruh, karena sudah usia lanjut,” terang Kepala Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding Lik Surito saat dialog, bupati dan wakil bupati beserta kepala desa serta tokoh masyarakat se Kabupaten Tuban di Graha Sandya.


Sementara itu, Mansur Kepala Desa Leran, Kecamatan Palang berharap agar alokasi dana desa (ADD) ditingkatkan menjadi Rp 100 juta setiap desa. Sebab, dengan jatah ADD sekarang ini tidak mencukupi untuk keperluan kemajuan desa. Apalagi, jatah operasional desa yang hanya 30 persen dari ADD yang dirima desa. “Selama ini kepala desa selalu tekor. Belum lagi pencairan ADD selama ini pada bulan November. Padahal kebutuhan desa itu sudah dimulai pada Januari setiap tahunnya,” terang Mansur.

Sumber di kalangan kepala desa lainnya menyebutkan, besaran ADD antara desa satu dengan desa lainnya tidak sama. Patokan ADD masing-masing desa Rp 30 juta dan ditambah sesuai indikator lainnya, seperti jumlah penduduk, PBB dan lain-lainnya. Menurut Sekkab Tuban Heri Sisworo, ADD tahun 2012 di APBD sudah naik 10 persen dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp 15,8 miliar. Terkait, percepatan pencairannya akan diupayakan paling tidak pada bulan ketiga sudah dicairkan. “Prinsipnya lebih ceoat lebih baik, sehingga bisa lebih cepat dibelanjakan untuk kepentingan desa,” terang Heri Sisworo yang mendampingi bupati bersama kepala satuan kerja lainnya.

Sementara itu Bupati Tuban Fathul Huda berjanji akan mengusulkan kepada DPRD agar kendaraan dinas kepala desa bisa dianggarkan paling lambat pada APBD 2013 mendatang. “APBD 2012 sudah diputuskan, sehingga nanti soal kendaraan dinas akan kami anggarkan pada 2013. Tapi, kalau PAK 2012 memungkinkan akan kami anggarkan. Tapi, semua tergantung DPRD-nya,” ungkap Huda sambil melirik Wakil Ketua DPRD Teguh Prabowo yang hadir dalam acara tersebut.

»»  Baca Selanjutnya...

PPDI : Jangan Menganaktirikan Perangkat Desa


Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) berharap Pemerintah tak terus-menerus menganak tirikan perangkat desa. Sekretaris Jendral (Sekjen) PPDI Jawa Timur, Trubus Santoso, S.Pd, menyampaikan harapan itu saat memberi sambutan pada acara Sosialisasi dan Silahturahmi PPDI Kabupaten Tuban, di Balai Desa Wanglu Wetan, Kecamatan Senori.

Menurut Trubus Santoso, selama ini perangkat desa diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah, padahal perangkat desa-lah sejatinya yang menjadi ujung tombak suksesnya semua program pemerintah. ” Bayangkan, kalau perangkat desa mogok tidak mau narik pajak PBB, negara bakal kehilangan separoh lebih pendapatannya,” kata Trubus Santoso.



Namun kendati memegang peranan kunci dalam pelaksanaan pogram-program Pemerintah, kenyataannya status perangkat desa masih dipandang sebagai aparat rendahan yang bisa diperlakukan semena-mena oleh para atasannya. Kondisi ekonomi perangkat desa pun seringkali pas-pasan. Sudah begitu masih sering tekor pula.



Lebih lanjut dikatakan, perangkat desa tidak layak hanya mendapat imbalan berupa lahan bengkok yang luasnya tidak seberapa. Di daerah yang tanahnya subur saja, hasil panen lahan bengkok itu sering tidak cukup untuk menghidupi keluarga, apalagi di daerah yang tidak subur. ” Kalau kemudian banyak perangkat desa yang tidak mampu menuntaskan tugas-tugasnya, hal itu bisa dimaklumi. Bagaimana bisa kerja dengan baik kalau waktu dan pikirannya terpecah antara menggarap sawah ladang dengan beban tugas pemerintahan ?” kata Trubus Santoso.

Menurut Trubus Santoso, perangkat desa adalah jabatan karir, bukan politis. Karenanya diperlukan perlakuan profesional agar perangkat desa juga bisa bertindak profesional. Wujud dari perlakuan profesional itu adalah mengangkat status perangkat desa sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan begitu perangkat desa bisa dijamin loyalitas dan profesionalitasnya. ” Kalau Sekdes bisa jadi PNS, kenapa perangkat desa tidak ? Kan sama kedudukannya dalam pemerintahan desa, sebagai aparat pembantu Kades,” tegas Trubus Santoso.

Menyedihkannya lagi, tambah Trubus Santoso, dalam Undang-undan (UU) yang memuat Pemerintahan Desa, perangkat desa sama sekali disinggung. Trubus Santoso mengaku PPDI telah menyampaikan usulan agar UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah direvisi. PPDI, kata Trubus, menghendaki masalah Pemerintahan Desa dibuat UU sendiri. “Kami sudah bertemu Komisi IX DPR-RI,” kata Trubus Santoso.

Kehadiran PPDI di Tuban sendiri sebenarnya agak terlambat. Organisasi yang didirikan tahun 2005 lalu ini saat ini telah memiliki cabang di 23 Kabupaten yang ada di Jawa Timur. Trubus Santoso mengaku seharusnya kepengurusan PPDI di Tuban sudah terbentuk beberapa tahun lalu. ” Kami sudah sosialisasi tahun 2005 lalu. Tapi nggak ada respon. Baru belakangan ada usulan lagi untuk menindak lanjuti pembentukan pengurus di sini,” jelas Trubus.

Sejumlah perangkat desa yang ditemui kotatuban.com membenarkan bahwa pembentukan pengurus PPDI sempat terkatung-katung. Menurut Nasro, Kepala Urusan Ekonomi dan Keuangan Desa Wangluwetan, lemahnya respon atas kehadiran PPDI lantaran kesejahteraan perangkat desa di Tuban jauh lebih baik dibanding kabupaten lain di Jawa Timur. ” Selain tetap mendapat lahan bengkok, perangkat desa di Tuban juga mendapat tunjangan Rp 700 ribu per bulan,” kata Nasro.
Selain itu, banyak yang belum memahami apa sebenarnya maksud dan tujuan PPDI. Perangkat Desa, kata Nasro, justru merasa rugi apabila mengikuti pemikiran PPDI bahwa statusnya di-PNS-kan. Mereka khawatir pendapatannya justru sangat berkurang lantaran tidak lagi mendapat bengkok. ” Kalau sudah terima gaji bulanan sebagai PNS, kabarnya bengkok mau dicabut, ya seperti para Sekdes itu,” kata Nasro.

Namun setelah dilakukan pendekatan lebih lanjut, akhinya 13 dari 20 Kecamatan menyatakan dukungannya untuk membentuk kepengurusan PPDI Cabang Tuban. Hasil dari musyawarah Panita Persiapan Pembentukan Pengurus PPDI Tuban, akhirnya berhasil membentuk susunan pengurus, dengan Ahmad Kholil, Kaur Pemerintahan Desa Rayung, Kecamatan Senori sebagai Ketua Umumnya.

Ditemui terpisah, Senin (23/7), Ahmad Kholil mengatakan, agenda awal yang bakal dilaksanakan PPDI Tuban adalah mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tuban melakukan revisi atas Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11/ 2006. Menurut Ahmad Kholil, ada beberapa pasal dalam Perda tersebut yang tidak sesuai, terutma pasal 14 dan 27. ” Pasal 14, usia perangkat desa dibatasi hingga 56 tahun. Kami usulkan sampai 60 tahun,dan masa baktinya juga tidak terbatas 5 tahun, karena perangkat desa bukan pejabat politis,” jelas Ahmad Kholil.

Sedang pasal 27, lanjutnya, tentang tunjangan yang diberikan kepada perangkat desa, tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72/2005. Dalam PP tersebut besarnya tunjangan perangkat desa minimal sama dengan Upah Minimun Kabupaten (UMK). ” UMK Tuban Rp 965 ribu, lha kami cuma dikasih Rp 700 ribu per bulan,” kata Ahmad Kholil.
»»  Baca Selanjutnya...