Sabtu, 28 Januari 2012

Dengan 100 Rupiah, Enduh Mengubah Desa

Enduh Nuhudawi
Mungkin kita tidak akan percaya dengan uang 100 rupiah bisa mengubah wajah desa. Entah kebetulan atau tidak, kondisi Desa Situ Udik di Kecamatan Cibungbulan, Kabupaten Bogor, memang tidak jauh dengan namanya. Kemiskinan menjerat cukup banyak warganya.
Namun sejak 2009, desa berpenduduk 14 ribu jiwa dengan 1.045 orang di antaranya di golongan prasejahtera itu menjadi sorotan nasional. Bahkan tahun itu Desa Situ Udik menjadi desa percontohan se-Jawa Barat.
Warga Desa Situ Udik memang masih banyak yang terbelit kemiskinan. Namun, sejak tiga tahun lalu sudah 68 rumah tidak layak huni (RTLH) berhasil diperbaiki secara bergotong-royong oleh warga. Perbaikan itu bisa terwujud karena saban hari setiap warga mengumpulkan uang Rp100.
Ada kotak kayu layaknya kotak amal yang ada di masjid atau buku catatan sumbangan yang diedarkan pengurus RT ke rumah-rumah. Di akhir bulan, uang yang dikumpulkan ke perangkat desa itu disalurkan untuk pembangunan atau perbaikan rumah keluarga miskin.
Kegiatan yang dinamai Serumpi yang berasal dari kata ‘reriungan sarumpi’ ini memang tidak muncul begitu saja. Ini merupakan hasil gagasan sang kepala desa (kades), Enduh Nuhudawi.
“Konsep saya tiga saja, gotong-royong, kebersamaan, dan kepedulian serta rasa ingin maju. Di mana pun (bisa) berhasil,” kata pria 49 tahun ini. Konsep itulah yang diluncurkan Enduh saat pencalonan kades pada 2008.
Namun, ide nyata tentang kotak Serumpi itu didapat setelah Enduh berkeliling menyaksikan kondisi desa. Hal itu sebenarnya dilakukan untuk meyakinkan dirinya menerima desakan dari tokoh desa agar ia mau menjadi kades.
Sebagai pemilik tiga toko sembako, Enduh mengaku pada awalnya tidak ada keinginan menjadi kades. Ayah empat anak ini pun mencari panggilan apa yang membuatnya perlu menjadi kades di desa itu. Nyatanya selama berkeliling desa yang ia temui adalah berbagai masalah sosial. Namun hal itu justru meyakinkannya.
”Satu bulan saya muter tiap hari. Di situ saya banyak temuan, di antaranya banyak RTLH, masyarakat sakit tidak bisa berobat. Di situ akhirnya saya mau.” Setelah terpilih jadi kades, Enduh langsung mengemukakan konsep program pengumpulan Rp100 tersebut.
Awalnya dengan uang sendiri.
Awalnya pelaksanaan program Serumpi tidak mudah. Warga desa banyak yang tidak percaya, baik terhadap keberhasilan program maupun soal penggunaan uang itu. Karena tidak ingin idenya gagal, Enduh pun melaksanakan aksi rahasia yakni memperbaiki dua rumah keluarga miskin dengan uangnya sendiri. Namun, kepada masyarakat ia katakan bahwa perbaikan itu merupakan hasil pengumpulan uang Rp100.
“Waktu itu saya habis delapan jutaan. Saya keliling ke pengajian dan saya sampaikan bahwa uang dari seratus rupiah itu sudah bangun dua rumah,” tuturnya. Cara itu terbukti jitu. Keberhasilannya jadi pembicaraan warga dan akhirnya mereka mulai antusias bersedekah.
Awal 2009, wadah sumbangan tidak perlu selalu diedarkan karena sudah ada di rumah-rumah warga. Setiap bulan, dari 43 RT yang ada di wilayah tersebut, rata-rata terkumpul uang Rp4 juta. Bahkan pernah pula mencapai Rp8 juta.
Program yang dilakukan Enduh kemudian mendapat dukungan pemerintah kabupaten. Sebanyak 50 rumah lainnya dapat diperbaiki dengan dana pemkab.
Pemkab Bogor pada 2012 ini menargetkan perbaikan 4.000 rumah. Jumlah itu merupakan bagian dari 49.093 RTLH yang terdata pada 2010.
Enduh menetapkan target setiap bulan harus ada rumah yang dibangun atau diperbaiki secara mandiri. Biaya yang dianggarkan untuk tiap rumah berbeda-beda, sekitar Rp2,5 juta – Rp6 juta.
Umumnya perbaikan yang berbiaya besar disebabkan tidak ada faktor internal penunjang, misal dukungan finansial dari anak-anak pemilik rumah. Enduh memang berusaha untuk melibatkan pemilik rumah menyumbang dana untuk mendidik kemandirian.
“Masyarakat jangan disuapin saja. Malah uang ini harusnya berkembang. Bedah rumah ini enggak 100% tapi 80%. Karena kalau 100%, itu tidak mendidik keluarganya.”
Enduh juga mengeluarkan sanksi bagi masyarakat yang enggan menyumbang untuk fakir miskin. Namun, sebagaimana sosialisasi Serumpi, sanksi pun menggunakan pendekatan agama. “Saya bilang sanksinya didoakan ramai-ramai di mesjid supaya belangsak. Warga pun takut,” cetusnya.
Kini meski total telah 118 RTLH diperbaiki, Serumpi belum akan berhenti. Berdasarkan pendataan, Enduh mengatakan masih ada 173 RTLH belum tersentuh. Untuk itu, Enduh pun bercita-cita mengumpulkan Rp15 juta per bulan agar rumah-rumah itu rampung dalam waktu setahun.

0 Komentar:

Posting Komentar