Kamis, 14 Juni 2012

Membiasakan Anak Merokok Sejak Dini



Pepatah mengatakan, “Bahwa mengajarkan sesuatu di masa kecil, ibarat menulis di atas batu,” memperkenalkan rokok walau hanya dalam bentuk mainan di waktu dini, sama dengan membiasakan anak merokok di waktu besar, “kita telah meracuni otak anak-anak.”

Merokok dalam perspektif positifis, memang tak akan pernah menemui titik pembenarannya. Karena secara pertimbangan akali, rokok tidak memberikan dampak yang baik, bahkan cenderung membawa dampak buruk (bad effect). Hanya karena pertimbangan cultural dan apologis indivialis-lah, kemudian menjadikan merokok sebagai hal yang wajar dan biasa. Terlebih saat ada pelumeran alasan bahwa merokok hanya untuk orang dewasa, dan diperbolehkan, kecuali di tempat-tempat tertentu. Ini menunjukkan bahwa merokok adalah sesuatu yang lazim dilakukan.


Akan tetapi, bagaimana jadinya jika rokok dimodifikasi pebisnis dalam bentuk makanan ringan (permen), lantas dipasarkan untuk golongan anak-anak. Kejadian ini pernah penulis temui saat berada di kampung halaman, tepatnya di daerah pinggiran Kabupaten Tuban. Saat itu penulis tengah melihat seorang anak laki-laki berumur 6 tahunan, memegang sebatang rokok dan menirukan gaya merokok lazimnya orang dewasa. Dijepit dengan dua jari, antara jari telunjuk dan tengah, serta mimik muka yang memonyong-monyongkan bibir seperti mengepulkan asap. Penulis sempat terkecoh mengira bahwa si anak benar-benar merokok. Hanya saja tidak dijumpai gumpalan asap keluar dari mulutnya.

Pemandangan tersebut sebenarnya bukan hal yang bombastis, toh merokok bukan hal yang langka, dan untuk ukuran anak kecilpun kita sudah pernah menjumpai, seperti Sandi si anak Malang yang memiliki kebiasaan merokok, hingga beritanya menggemparkan media masa beberapa saat lalu. Tapi jika kita mau menggunakan empati kita sedikit saja maka ada kegetiran yang sangat, manakala menyadari bahwa rokok telah benar-benar menggeser pola pikir (mind set) akan sesuatu yang jelas-jelas tidak benar menjadi wajar, terlebih lagi adanya dukungan pasar.

Secara lebih mendalam maka kita jumpai adanya stigmanisasi sistemik pada rokok.  Dengan merubah kuantitas tembakau menjadi permen tanpa merubah tampilan luarnya, maka  tiada bedanya dengan kita mengelabui  anak-anak. Ibarat meminumkan obat yang pahit dengan air gula. Lebih parahnya lagi, konsumen dari rokok abal-abal ini adalah anak-anak, maka tak usah menunggu Kak Seto pasang muka masam atau psikolog Tika Bisono berargumen panjang lebar, tanpa terlisanpun kita bisa mendengar, “karena masih kecil maka merokoknya pake yang permen aja, nanti kalau sudah gede baru rokok yang beneran” macam itulah mungkin pesan yang hendak disampaikan si pembuat rokok mainan.

Penulis : Khoirul Hidayati, alumnus mahasiswa IAIN SUNAN AMPEL Surabaya angkatan 2011, aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Belajar menulis dengan bergabung di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARRISALAH IAIN Sunan Ampel Surabaya. Saat ini tengah bekerja pada salah satu media cetak di Surabaya.

0 Komentar:

Posting Komentar