Kamis, 12 Juli 2012

Perajin Anyaman Bambu Merakurak Eksodus ke Luar Negeri


Perajin anyaman bambu Merakurak eksodus ke luar negeri. Nasib kerajinan anyaman bambu Dusun Pangklangan, Desa Mandirejo, Kecamatan Merakurak, dipastikan berakhir mengenaskan. Para perajin memilih hijrah ke negeri jiran Malaysia lantaran semakin sepinya pesanan. Menurut pengakuan Darmi (49), perajin anyaman bambu di Dusun Pangklangan, Desa Mandirejo, Kecamatan Merakurak, tidak lagi ceria seperti lima tahun lalu, lima tahun lalu ia sempat kuwalahan menerima pesanan. Bahkan sempat pula ia melayani pesanan turis dari Belanda, Australia dan Inggris.

Namun keadaan itu berbalik 180 derajat saat ini. Sebulan, kata Darmi, hanya ada satu pesanan yang datang. “Malah dua bulan lalu tidak ada sama sekali,” keluhnya saat penulis berkunjung, Selasa (10/7) kemarin. Akibatnya jelas, penghasilan Darmi merosot tajam. Lima tahun lalu, katanya, sangat mudah mendapatkan uang Rp 1 juta sebulan. Namun sekarang, Rp 100 ribu saja harus menunggu tiga bulan lamanya. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Darmi terpaksa bekerja serabutan. Saat musim tanam padi, ia menjadi buruh tanam padi. Kadang juga menjadi buruh cuci pakaian dan tukang masak. Menganyam bambu ia kerjakan sore atau malam hari, setelah ia pulang dari kerja serabutannya itu. “Kerja apapun yang penting halal. Lha mau menganyam saja ya bisa mati kelaparan,”katanya.

Nasib serupa dialami Tasri (47), warga setempat. Ibu tiga anak ini bahkan sudah lama tidak lagi menganyam bambu. Ia memilih membantu suaminya menggarap sawah karena anyaman bambu karyanya sudah sepi peminat. “Dulu sebulan bisa ratusan tenong terjual. Sekarang numpuk di dalam itu,” katanya sambil menunjuk tumpukan tenong, tempat tisyu, tempat buah dari anyaman bambu hasil karyanya yang menumpuk di ruang tamu.

Untuk menghasilkan karya-karya yang sebenarnya memiliki keunikan dan daya tarik tersebut, Tasri mengaku butuh ketekunan dan ketelitian. Bahan-bahannya pun harus dipilih. Beruntung bahan-bahan tersebut tidak didatangkan dari tempat jauh, sehingga mereka masih bisa menekan biaya produksi. “ Satu tenong seperti ini saya jual Rp 25 ribu. Sedang tudung lampu dan tempat buah Rp 15 ribu per biji,” kata Tasri.

Seminggu, kata Tasri, empat orang bisa menghasilkan 150-an tenong. Namun karena sepinya pesanan, waktu sekian hari itu hanya mampu menghasilkan 2 sampai 4 tenong. Karena kerajinan bambu tidak lagi bisa dijadikan sandaran ekonomi, banyak perajin yang memilih hijrah ke Malaysia, menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Saat ini, dari 120 perajin yang pernah ada, tinggal 5 orang saja yang masih tekun dengan kerajinan bamboo tersebut.

Kepala Desa Mandirejo, Ali Shobri, mengaku prihatin terhadap nasib perajin bambu yang berbalik 180 derajat tersebut. Ia membenarkan banyak perajin yang menjadi TKW karena menurunnya pesanan. “ Dulu sempat ada koprasi-nya segala. Sekarang perajin mengerjakan sendiri-sendiri, tidak berkelompok, sehingga pesanan menurun,” kata Ali Shobri.

Hal senada disampaikan Kepala Bidang Perindustrian Dinas Perekonomian dan Pariwisata Tuban, Heru Purnomo. Ia mengaku pihaknya belum bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan nasib kerajinan bambu yang ditinggal banyak perajinnya itu. Namun ia berjanji akan terus melakukan pembinaan dan membantu mempromosikan karya-karya tangan terampil wanita Dusun Pangklangan tersebut ke berbagai daerah. “Setiap pameran pasti mereka kita ajak. Kami juga berupaya mencarikan bantuan modal agar para perajin bisa tetap bertahan,” kata Heru Purnomo.

0 Komentar:

Posting Komentar