Sabtu, 07 Juli 2012

“Pasar Santren” Pasar Tradisional di Desa Nguruan



Keberadaan pasar sebagai tempat transaksi jual beli merupakan kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan. Seperti itulah gambaran “Pasar Santren” yang berada didepan Masjid Jami’ Al-Ishlah Desa Nguruan Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Meski berlangsung singkat namun keberadaan pasar santren  cukup efektif sebagai transaksi bagi penjual dan pembeli.

Berdasarkan pantauan nguruan.blogspot.com di lapangan menyebutkan, suasana di lokasi pasar banyak barang dagangan yang dijual mulai dari kebutuhan sehari-hari seperti sembako, beraneka macam kue dan jajanan tradisional (getuk, serabih, klepon, dll), ikan, sayur-mayur dan buah tampak di pasar “krempyeng” Santren. Bahkan ada pula pedagang pakaian dan accesories. Para penjual 60% berasal dari dalam desa dan 40% berasal dari luar desa. Ada hampir 50 lapak yang memakai meja, 3 lapak permanen dan 10 lapak lesehan di lokasi tersebut yang menempati trotoar dan badan jalan.

Aktivitas di pasar ini dimulai dari pukul 04.30 s.d. 08.00 WIB, jadi jangan heran jika anda melewati lokasi pasar ini pada waktu siang dan malam hari suasana akan terasa lengang, namun pada pagi harinya dalam sekejap jalanan disulap menjadi pasar tradisional yang ramai dan banyak orang yang berlalu-lalang melakukan transaksi jual beli.

Salah seorang pembeli, Suparmi, 32, warga setempat mengaku lebih senang membeli sayur di di pasar santren dengan alasan harganya relatif murah. Apalagi Suparmi, yang merupakan salah satu ibu rumah tangga ini harus menyiapkan sarapan pagi sebelum dia dan keluarganya melakukan aktifitas di luar rumah.

Sementara itu, Masriana, 22, salah seorang pedagang sayur mengaku, berjualan di pasar krempyeng seperti itu sebab di pagi hari banyak para tengkulak yang membeli dagangannya untuk dijual lagi.

Akan tetapi keberadaan pasar “tradisional” santren ini juga banyak menuai kritik dan saran baik yang pro maupun kontra. Keberadaan pasar ini selain membawa berkah bagi penjual dan pembeli juga menyisakan sisi lain yang harus menjadi pertimbangan bagi kelangsungan pasar ini dikemudian hari.

Contoh konkret dalam pengamatan kami, ada beberapa hal yang harus dibenahi yaitu:
1.  Banyaknya kendaraan yang parkir disembarang tempat, sehingga mengganggu pengguna jalan yang lain dan perlu dibuatkan tempat parkir khusus.
2.  Penataan kembali lapak-lapak yang semrawut, tujuannya agar pembeli aman dan nyaman karena lokasinya di badan jalan.
3.  Tidak adanya petugas kebersihan resmi, sehingga banyak sampah yang menumpuk di kali dan menyebabkan pendangkalan.
4.  Perlu adanya swakelola dari pemerintahan desa, dalam PP 72/2005 Pasal 69 disebutkan, sumber pendapatan desa terdiri atas tanah kas desa, pasar hewan, pasar desa, tambatan perahu, dan bangunan desa dapat digunakan sebagai pendapatan asli desa. Dalam hal ini, kepala desa dan BPD dapat membuat perdes untuk mengatur pasar desa.

Dari keempat poin di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa desa berhak mengatur dan menertibkan pasar desa karena desa mempunyai hak otonom. Maka dari itu, coba kita bermain matematika sebentar. Misal per lapak kita berikan karcis kebersihan sebesar Rp.500 x 50 lapak x 365 hari (1 tahun) = Rp.9.125.000 dikurangi biaya kebersihan misalnya kita mempekerjakan orang perbulannya Rp. 300.000 x 12 bulan = 3.600.000. Sehingga desa mendapat pendapatan bersih pertahun Rp. 9.125.000 – Rp. 3.600.000 = Rp. 5.525.000,-

2 komentar:

  1. seperti apa ,rencana kedepan oleh pemerintah,adakah akan di buatkan tempat baru,supaya para pedagan dan pembeli lebih selesa?apa program pemerintah untuk membantu memajukan pasar ini

    BalasHapus