Keberadaan pasar sebagai tempat transaksi jual beli merupakan
kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan. Seperti itulah gambaran
“Pasar Santren” yang berada didepan Masjid Jami’ Al-Ishlah Desa Nguruan
Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Meski berlangsung singkat namun keberadaan
pasar santren cukup efektif sebagai transaksi bagi penjual dan pembeli.
Berdasarkan pantauan nguruan.blogspot.com di lapangan menyebutkan,
suasana di lokasi pasar banyak barang dagangan yang dijual mulai dari kebutuhan
sehari-hari seperti sembako, beraneka macam kue dan jajanan tradisional (getuk,
serabih, klepon, dll), ikan, sayur-mayur dan buah tampak di pasar “krempyeng” Santren.
Bahkan ada pula pedagang pakaian dan accesories. Para penjual 60% berasal dari
dalam desa dan 40% berasal dari luar desa. Ada hampir 50 lapak yang memakai
meja, 3 lapak permanen dan 10 lapak lesehan di lokasi tersebut yang menempati
trotoar dan badan jalan.
Aktivitas di pasar ini dimulai dari pukul 04.30 s.d. 08.00 WIB,
jadi jangan heran jika anda melewati lokasi pasar ini pada waktu siang dan
malam hari suasana akan terasa lengang, namun pada pagi harinya dalam sekejap
jalanan disulap menjadi pasar tradisional yang ramai dan banyak orang yang
berlalu-lalang melakukan transaksi jual beli.
Salah seorang pembeli, Suparmi, 32, warga setempat mengaku lebih
senang membeli sayur di di pasar santren dengan alasan harganya relatif murah.
Apalagi Suparmi, yang merupakan salah satu ibu rumah tangga ini harus menyiapkan
sarapan pagi sebelum dia dan keluarganya melakukan aktifitas di luar rumah.
Sementara itu, Masriana, 22, salah seorang pedagang sayur mengaku,
berjualan di pasar krempyeng seperti itu sebab di pagi hari banyak para
tengkulak yang membeli dagangannya untuk dijual lagi.
Akan tetapi keberadaan pasar “tradisional” santren ini juga banyak
menuai kritik dan saran baik yang pro maupun kontra. Keberadaan pasar ini
selain membawa berkah bagi penjual dan pembeli juga menyisakan sisi lain yang
harus menjadi pertimbangan bagi kelangsungan pasar ini dikemudian hari.
Contoh konkret dalam pengamatan kami, ada beberapa hal yang harus
dibenahi yaitu:
1. Banyaknya kendaraan yang parkir disembarang tempat, sehingga mengganggu
pengguna jalan yang lain dan perlu dibuatkan tempat parkir khusus.
2. Penataan kembali lapak-lapak yang semrawut, tujuannya agar pembeli
aman dan nyaman karena lokasinya di badan jalan.
3. Tidak adanya petugas kebersihan resmi, sehingga banyak sampah yang
menumpuk di kali dan menyebabkan pendangkalan.
4. Perlu adanya swakelola dari pemerintahan desa, dalam PP 72/2005 Pasal 69 disebutkan,
sumber pendapatan desa terdiri atas tanah kas desa, pasar hewan, pasar desa,
tambatan perahu, dan bangunan desa dapat digunakan sebagai pendapatan asli desa.
Dalam hal ini, kepala desa dan BPD dapat membuat perdes untuk mengatur pasar
desa.
Dari keempat poin di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa desa
berhak mengatur dan menertibkan pasar desa karena desa mempunyai hak otonom.
Maka dari itu, coba kita bermain matematika sebentar. Misal per lapak kita
berikan karcis kebersihan sebesar Rp.500 x 50 lapak x 365 hari (1 tahun) = Rp.9.125.000
dikurangi biaya kebersihan misalnya kita mempekerjakan orang perbulannya Rp.
300.000 x 12 bulan = 3.600.000. Sehingga desa mendapat pendapatan bersih
pertahun Rp. 9.125.000 – Rp. 3.600.000 = Rp. 5.525.000,-
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusseperti apa ,rencana kedepan oleh pemerintah,adakah akan di buatkan tempat baru,supaya para pedagan dan pembeli lebih selesa?apa program pemerintah untuk membantu memajukan pasar ini
BalasHapus