Senin, 16 Juli 2012

Mengatrol Kejayaan Batik Gedog


Kerajinan batik gedog yang mulai dikembangkan sejak era kolonial dan tetap terpelihara hingga kini  di Desa Margorejo, Kecamatan Kerek, Tuban serta sejumlah desa di sekitarnya dalam perjalanannya tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Bahkan,  terkesan seperti jalan di tempat.
Kalau pun kemudian batik gedog tidak bisa menjadi tuan rumah di tanah asalnya sendiri, yakni Tuban, tidaklah tanpa alasan. Realitas yang ada menunjukkan, gerai dan konter penjualan batik gedog kalah pamor dengan produk daerah lain.
Caya batik gedog telah kehilangan kilaunya. Seperti wajah letih para pembatik yang setiap hari berkutat dengan kesulitan dan membanting tulang di ladang-ladang yang gersang. Beras harus dibeli dengan uang yang sedikit. Diirit supaya cukup untuk seharian itu.
Batik gedog kemudian, dari masa ke masa, menjadi sebuah potret ironi. Pahit dan menyakitkan. Di satu sisi, batik gedog memang telah menjadi ikon yang sukses. Setidaknya, itu yang tercermin dalam balutan seragam para pegawai negeri sipil (PNS) di lingkup Pemkab Tuban. Upaya menaikkan trah batik gedog telah sukses pula. Tapi, itukah ukuran keberhasilan produk lokal? Jawabnya bisa iya, bisa pula tidak. Tergantung pada persepsi dan wacana berpikir orang per orang.
Waktu yang berlalu sedemikian cepat, seperti membuka pintu air di sungai berarus besar bak samudera luas dan menenggelamkan pasar batik gedog di tanah kelahirannya sendiri. Lihatlah, trend batik belakangan ini membuat pasar mendatangkan batik ‘instan’ dengan corak warna-warna dan menggairahkan. Batik Pekalongan dan Solo, misalnya, menenggelamkan batik gedog dalam kegelisahan dan keletihannya.
Apakah  hal itu berarti akan membunuh pasar batik gedog di Tuban? Kenyataan kalah bersaing haru diakui sebagai masa suram batik gedog itu sendiri dan mesti segera dicari jalan ke luarnya, yang harus difahami tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Di bidang pasar, batik gedog tidaklah terperosok amat. Batik dengan bahan baku kapas yang, konon, hanya bisa tumbuh di Desa Margorejo, ini pernah Berjaya di pasar dunia. Seperti sejumlah negara di Eropa dan Timur Tengah. Akan tetapi belakangan di pasar internasional terus mengalami penurunan. Alasannya kalah bersaing dengan produk negara lain. Sebuah fakta yang membuat kecewa.
Kenyataan tersebut seperti hakikat sebuah tangga, Dititi dari bawah ke atas. Sayang, ketika turun meluncur tajam dan terjerembab ke tanah tempat bersimpuh para pembatik. Perempuan-perempuan pembatik yang menjadi pahlawan bagi dirinya, keluarganya dan orang-orang di sekitarnya ditafsirkan kehilangan kreasi dan jiwa seni membatik,
Pasar yang sudah teraih, sudahlah tentu jadi kebanggaan yang seharusnya dipupuk agar bertahan. Ada  dugaan, merosotnya pamor batik gedog akibat campur tangan pemodal dan para makelar yang berusaha mengubah arah dan motif batik gedog dengan tanpa memberikan ruang dan waktu bagi para ‘pembatik sejati sesunguhnya’. Upaya memberi warna dan sentuhan lain oleh insting pebisnis tidak salah memang. Namun, hasilnya akan sia-sia manakala jiwa dan roh batik, yang diketahui dan dirasakan oleh  pembatiknya sendiri, ibarat menabur garam di samudera luas.
Tapi, sejatinya, para pembatik gedog sejati, yakni mereka yang berkreasi tanpa henti berkat warisan pendahulu sebelumnya, masihlah pribadi yang sama. Karena membatik bukan satu-satunya penghasilan perekonomian mereka. Ketika sawah dan ladang harus dicangkul dan rumput disiangi, para perempuan pembatik ini berkewajiban juga turun bekerja. Sebuah dunia yang kontradiktif. Sentuhan kreasi mereka dalam membatik tak pernah padam. Hidup yang keras dan sulit makin mematangkan karya-karyanya.
Batik gedog dengan segala kelebihan dan kekurangannya, bagi Heru Purnomo, Kabid Perindustrian Dinas Perekonomian dan Pariwisata Tuban, dilihatnya sebagai situasi yang pelik tapi terus diupayakan untuk dibangkitkan dengan harapan akan mampu bersaing di tengah pasar global.
Heru mengakui, pasar sekarang menghendaki sesuatu yang instan. Demikian pula dalam trend mode. Batik gedog diakui belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
“Ketika seseorang, misalnya, dalam bepergian harus ganti pakaian tidak bisa memilih batik gedog sebagai pilihan yang instan. Artinya, enak digunakan dan  nyaman. Sementara, produk lain semisal batik cap sudah melesat lebih awal dan diterima pasar,” kata Heru.
Untuk menggairahkan pasar batik gedog, menurut Heru, perlu dibangun menejerial di tingkat para pembatik secara mandiri dalam kelompok-kelompok kecil atau besar.
“Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah permodalan. Selama ini, para pembatik juga bekerja dengan instan. Selembar kain batik yang sudah jadi langsung dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Secara ekonomi, ini memang tidak sehat,” tandas Heru.
Sebagai ikhtiar untuk menstabilkan batik gedog dengan segala problematikanya, seperti disebutkan Heru, mereka yang masuk dalam usaha kecil menengah (UKM) diberikan sarana pelatihan dan permodalan dengan ‘menghubungkan’ kelompok ini guna memperoleh sokongan dalam bentuk pasar atau dana segar.

0 Komentar:

Posting Komentar