Jumat, 22 Juni 2012

Wayang, Budaya Seni yang Luhur



Pada tanggal 7 November 2003, UNESCO memberikan peng hargaan pada kesenian wayang Indonesia sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. Hal ini karena wayang memiliki kelebihan sebagai seni budaya Indonesia yang kaya akan karya seni, seperti seni peran, seni suara, seni music, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang.
  
Para pecinta wayang tentu mengenal tokoh-tokoh pewayangan seperti Pandawa Lima, Punakawan, Astina, Amarta, Bima, dan lain sebagainya. Wayang adalah pagelaran seni tradisional yang banyak digemari oleh masyarakat Jawa dan sekitarnya. Bahkan kesenian ini memiliki nama yang berbeda-beda di tiap daerah.

Adalah para sunan Walisongo yang telah memberikan makna menarik untuk kesenian wayang. Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh Walisongo yang mengatur sedemikian rupa kesenian ini menjadi tiga bagian. Pertama, Wayang Kulit di Jawa Timur, member isyarat dan makna kepada masyarakat, mana yang hanya kulit (Wayang Kulit). Kedua, Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, member isyarat pada masyarakat, mana yang berisi (Wayang Wong). Ketiga adalah Wayang Golek di Jawa Barat, yang member isyarat, mana yang harus dicari (Golek).

Di tangan Walisongo, wayang bisa dijadikan sebagai alat da’wah yang sarat makna. Kendari masyarakat Jawa pada waktu itu masih banyak yang menganut kepercayaan animism dan dinamisme, namun para pentebar ajaran Islam di tanah Jawa tidak kurang akal untuk mendekatkan ajaran-ajaran Islam melalui kesenian yang digandrungi oleh masyarakat Jawa pada waktu itu.

Sunan Kalijaga atau Raden Said misalnya. yang tak lain adalah putera dari Adipati Tuban, selalu memilih tempat yang tidak jauh dari masjid ketika menggelar pagelaran wayang. Di sekeliling tempat pagelaran wayang itu ia lalu  membuat parit yang mengalir di dalamnya air yang jernih. Parit ini dibuat untuk melatih para penonton wayang agar mencuci kaki sebelum masuk masjid. Sebuah makna simbolis tentang widhu yang disampaikan dengan bijak.

Dengan kehadiran para Walisongo ini, wayang yang dulunya masih menggambar wujud manusia utuh diubah polanya agar tidak menyerupai manusia lagi. Para wali kemudian membuat wayang yang dibuat dari kulit kambing sednga kedua tangan sejajar kedua kakinya. Maka wayang juga diubah sehingga tak menyerupai manusia.

Penggunaan Istilah Arab

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, wayang merupakan budaya asli Indonesia. Meski cerita wayang populer saat ini banyak diadaptasi dari karya-karya sastra Insia, namun induk ceritanya banyak  mengalami perubahan ketika bertemu dengan da’wah Islam di Jawa.

Perubahan ini terlihat pada kehadiran sosok Punakawan. Punakawan adalah konsep filsafat yang memperkuat bahwa di dunia ini tak ada makhluk yang benar-benar baik, dan tak ada yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan sesuai sifat dan tabiatnya masing-masing.

Figur Punakawan dalam tokoh pewayangan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) memiliki makna yang berbeda-beda dan mendalam, Bahkan jika nama-nama Punakawan itu dirangkai dalam satu kalimat akan menjadi sebuah kalimat yang cukup bermakna “Sammir Ilal Khairi Fatruk Minal Bagho”

Ketika ditelusuri dan diteliti, nama-nama Punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, Bagong,  sebenarnya berasal dari bahasa Arab. Semar/Sammir berarti siap sedia. Gareng/Khair berarti kebaikan/kebagusan, Petruk/Fatruk berarti meninggalkan, sedangkan Bagong/Bagho artinya lalim atau kejelekan.

Secara tak langsung ini adalah ajakan (da’wah) yang diserukan para wali zaman dahulu agar meninggalkan kepercayaan animisme, dinamisme, dan kepercayaan-kepercayaan lain menuju ajaran Islam. Maka wajar jika Punakawan ini disusun secara berurutan, Semar, Gareng Petruk, dan Bagong, akan terbaca arti maknanya : “Berangkatlah menuju kebaikan maka kamu akan meninggalkan kejelekan.

Selain Punakawan, istilah-istilah lain dalam pewayangan juga banyak berasal dari istilah Arab. Misalnya, kata Astina yang diistilahkan sebagai nama kerajaan para penguasa yang lalim, lebih dekat dengan kata Asy-Syaithan. Rajanya, Duryudana, lebih dekat dengan kata Durjana. Setiap orang jahat (durjana), pasti akan menemukan kekalahan dan menjadi teman setan di neraka.

Ketika seorang dalang memerankan Bala Astina dalam pentas wayang, tentu merek adi sebelah kiri bergabung dengan para raksasa. Sedangkan Pandawa selalu di sebelah kanan. Hal ini menggambarkan bahwa yang baik dan yang buruk itu berbeda.
Karena itu, dalam cerita wayang, Kurawa dan Astina selalu berbuat jahat pada Pandawa Lima. Astina merampas semua hak Pandawa, dan mencoba menghabisi nyawa para Pandawa dengan berbagai cara.

Sementara itu, tokoh pewayangan yang dikenal kuat, perkasa, dan berjiwa ksatria adalah, Bima atau Werkudara. Ia memiliki kekuatan yang disebut Dodot Bangbang Tulu Aji dan Kuku Pancanaka. Maksud ajian itu adalah Bima diselimuti tiga ilmu, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. (kata Tulu aji bermakna tiga aji, atau tiga kekuatan)

Sedangkan Kuku Pancanaka merupakan kekuatan untuk melengkapi Dodot Bangbang Tulu Aji. Kuku Pancanaka memiliki arti kekuatan Lima Waktu. Apabila kedua kekuatan itu digunakan, maka itu merupakan simbolisasi yang berarti apabila telah memiliki Iman, Islam, dan Ihsan, maka tak akan pernah meninggalkan shalat lima waktu.

Kata dalang sendiri diambil dari kata dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar. Wayang-wayang ini akan digerakkan dalam beberapa cerita islami karya walisongo, seperti cerita Jimat Kalisada (Kalimat Syahadat), Dewa Ruci, Petruk jadi Raja, dan Wahyu Hidayat (Wahyu petunjuk).

Peranan wayang ini bergantung pada kemahiran seseorang dalang dalam menyuguhkan pagelaran wayang yang  sarat muatan moral. Ia memiliki amanat sebagai juru bicara dalam menyampaikan kritik, saran, pendidikan agama, dan lain sebagainya. Karena itu, seorang dalang hendaknya tak hanya pandai memainkan tokoh wayang dan senda gurau saja, tetapi harus menguasai ilmu, khususnya ilmu agama.

Jika seorang dalang tidak menguasai ilmu tersebut, maka tak heran jika dalam pegelaran wayang tak ditemukan lagi muatan moral, kejujuran, akhlak, dan nilai-nilai Islam sesuai dengan harapan Sunan Kalijaga dulu.

1 komentar: