Ketetapan jatuhnya 1 Ramadlan 1433 H hingga hari ini belum diputuskan oleh pemerintah. Seperti telah banyak diberitakan, Keluarga besar Muhammadiyah telah menetapkan jatuhnya awal bulan ramdlan pada hari Jum’at 20 Juli 2012. Dalam pernyataannya di salah satu media televisi nasional hari ini, Kamis (19/7), Prof. DR. Din Syamsuddin menyatakan bahwa, “Muhamadiyyah telah menetapkan jatuhnya awal ramadhan pada hari Jum’at tanggal 20 Juli 2012.” Dalam pernyataannya, Orang nomor 1 di Muhammadiyyah yang juga pernah dibesarkan dikalangan Nahdliyyin tersebut menyatakan, “Muhammadiyyah tidak akan mengikuti sidang Isbat (paripurna penetapan awal bulan ramadhan dan syawal yang dimediatori oleh pemerintah).”
Menurut Din, “Sidang itu tidak perlu dilakukan karena hal itu sama artinya pemerintah terlalu intervensi urusan agama, dan bertentangan dengan UUD 1945.” Pernyataan tokoh sentral Muhammadiyyah tersebut tak pelak menimbulkan kontroversi dari sejumlah kalangan. Sebagian membenarkan pernyataan Din Syamsuddin, namun sebagian sangat menyayangkan pernyataan tersebut, dengan alasan dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam di Indonesia.
Kontroversi tersebut juga terjadi di Bumi Ronggolawe. Dalam pantauan nguruan.blogspot.com di masyarakat Tuban, banyak pihak lebih memilih untuk mengikuti ketetapan pemerintah. Dari 10 orang koresponden, 4 orang menyatakan mengikuti pemerintah, 2 orang ikut Muhammadiyyah, 3 orang menunggu keputusan PBNU, dan 1 orang tidak peduli.
Seperti disampaikan oleh Abdul Fattah, sala satu warga Tuban yang juga jebolan pesantren Jombang ini mengatakan, “Beda pendapat dalam beragama itu sudah biasa. Namun perbedaan tersebut jangan sampai menjadi pemicu terjadinya perpecahan umat Islam di Negara ini.”
Lebih lanjut Fattah mengatakan, “Agama itu keyakinan, namun dalam agama juga diatur mengenai kehidupan bernegara. Oleh karena itu menurut saya, pemerintah juga bisa bertindak sebagai Amir, dalam hal ini diwakili oleh Menteri Agama. Tapi jika ada yang berpendapat lain, itu sah – sah saja.”
Berbeda dengan Budi (bukan nama sebenarnya), salah satu anggota Muhammadiyyah yang tidak mau disebutkan namanya ini mengatakan, “Saya pikir yang disampaikan Bapak Din Syamsuddin itu sudah tepat. Untuk apa sidang Isbat, kalau toh akhirnya tetap berbeda pendapat.” “Muhammadiyyah menggunakan sistem Hisab, sedangkan yang lain juga harus ru’yah. Jika dasar penetapannya saja berbeda, maka berapa kali sidang pun tidak akan menetapkan hasil yang sama. Kalau pun sama, itu pasti kebetulan saja.”
Kabupaten Tuban mayoritas penduduknya beragama Islam, tentunya penetapan awal puasa dan syawal menjadi sangat penting. Namun perbedaan penetapan yang selama ini terjadi, membuat banyak masyarakat merasa jenuh dan bosan. Hal tersebut disampaikan oleh Haris, salah seorang warga yang ditemui kabartuban.com di Masjid Agung itu mengatakan, “Semua terserah yang menjalaninya mas, nuruti perdebatan orang – orang pintar itu malah bikin pusing,” kata Haris.
Lebih lanjut Haris mengatakan, “Kalau penetapan awal puasa dan hari raya kok selalu ribut. Kalau penetapan tanggal yang lain kok gak ada ribut. Kalau saya gampang saja mas, saya ini dikatakan NU juga gak pernah beraktifitas di organisasi itu, dikatakan Muhammadiyah juga nggak ngerti Muhammadiyah. Saya sederhana saja, karena hidup dalam Negara, ya mengikuti peraturan dan ketetapan Negara saja. Kalau pemimpinnya salah dalam menetapkan dan dosa, nanti pemimpin – pemimpin yang ruwet itu kan juga bakal nanggung dosanya.”
0 Komentar:
Posting Komentar