1. Bupati ke-1: Arya Dandang Wacana
Sepeninggal ayahnya, Arya Dandang Wacana segera
melaksanakan wasiat itu. Beliau diikuti oleh para prajurit dan rakyatnya
yang setia meninggalkan Lumajang. Mereka bekerja keras membuka hutan Papringan
yang membentang dari lereng perbukitan sampai ke tepi pantai utara Pulau
Jawa. Setelah berhasil, tempat itu diberi nama Tuban karena di daerah itu
banyak sumber air. Jadi nama Tuban tersebut berasal dari kata = metu
banyu = tubanyu = Tuban).
Dari hari kehari hutan Papringan yang telah
berubah menjadi Tuban itu semakin ramai saja sehingga terbentuklah sebuah
kabupaten. Arya Dandang Wacana sendiri menorehkan nama sebagai adipati pertama
di Kadipaten Tuban dengan gelar Kyai Ageng Papringan.
Setelah menjadi adipati selama ± 3 tahun kemudian
mendirikan pesanggrahan yang di sekitarnya terdapat sungai dan sendang. Di
sekitar sendang banyak ditumbuhi pohon besar, sehingga udaranya sangat sejuk.
Pesanggrahan tersebut diberi nama Bekti. Nama Bekti diambil dari kata “pangabekti”,
karena pada waktu Raden Dandang wacana sedang beristirahat di tempat itu,
masyarakat datang berduyun-duyun untuk menunjukkan rasa pengabdian
kepada junjungannya (sowan ngabekti). Bekas pesanggrahan tersebut
sekarang menjadi Desa Bektiharjo.
Kyai Gedhe Papringan menjadi adipati Tuban selama
± 30 tahun kemudian meninggal dan dimakamkan di Kali Gunting, Desa
Prunggahan, Kecamatan Semanding.
2. Bupati ke-2: Raden Haryo Ronggolawe
Adipati Tuban pertama, Kyai Gedhe Papringan
dikaruniai dua putri yaitu Nyai Ageng Lanang Jaya dan Nyai Ageng Ngesa.
Perkawinan antara Nyai Ageng Lanang Jaya dan Arya Wiraraja dikarunia
seorang putra bernama Raden Haryo Ronggolawe.
Raden Haryo Ronggolawe dilantik sebagai adipati
Tuban pada tahun 1215 Saka atau 12 Nopember 1293, bersamaan dengan penobatan
Raden Wijaya sebagai raja Majapahit. Peristiwa inilah yang kemudian dijadikan
titik tumpu untuk menetapkan hari jadi Kota Tuban.
Sejarah telah mencatat bahwa ketidakpuasan Raden
Haryo Ronggolawe atas putusan Raden Wijaya yang melantik Nambi sebagai Patih
Amangkubumi memantik terjadinya pertumpahan darah di Sungai Tambak Beras.
Penegakan keadilan dengan cara Raden Haryo Ronggolawe tersebut, mengakibatkan
dirinya gugur di medan pertempuran. Menurut Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:18)
“Beliau wafat pada tahun 1217 Saka atau 1295 M”.
3. Bupati ke-3: Raden Sirolawe
Serat Dhamarwulan (Hikayat Tanah Jawa)
menerangkan bahwa Raden Haryo Ronggolawe mempunyai dua orang putra: 1. Raden
Buntaran dan 2. Raden Watangan. Padahal di dalam serat Babad Tuban diterangkan
bahwa putra Ronggolawe hanya semata wayang bernama Raden Sirolawe, beliau
inilah yang menggantikan ayahanda sebagai adipati Tuban. Mungkin karena
berdasarkan etika garis keturunan, putra tertualah yang berhak menjadi adipati
(penguasa). Bisa jadi Raden Buntaran adalah Raden Sirolawe yang menjalankan
pemerintahan hingga ± 15 tahun sampai meninggal dunia.
4. Bupati ke-4: Raden Haryo Sirowenang
Sepeninggal Raden Sirolawe yang menggantikan
sebagai adipati adalah puteranya bernama Raden Haryo Sirowenang. Lama
pemerintahannya ± 43 tahun.
5. Bupati ke-5: Raden Haryo Lena
Adipati Tuban ke-5 adalah Raden Haryo Lena,
putera Raden Haryo Sirowenang. Lama pemerintahannya ± 52 tahun.
6. Bupati ke-6: Raden Haryo Dikara
Raden Haryo Dikara menggantikan ayahnya, Raden
Haryo Lena. Lama pemerintahannya ± 18 tahun. Adipati ke-6 ini dikarunia dua
putrera yaitu Raden Ayu Haryo Tedjo dan Kyai Ageng Ngraseh.
Raden Ayu Aryo Tedjo diperistri oleh “Syeh
Ngabdurrahman, putra Syeh Ngali = Syeh Jalaludin ( Kyai Makam Dowo).
7. Bupati ke-7: Raden Haryo Tedjo
Pengganti Raden Haryo Dikara adalah menantunya
(suami Raden Ayu Haryo Tedjo) yaitu Syeh Ngabdurachman, putera Syeh
Djalaludin dari Gresik. Setelah menjabat adipati ke-7, Syeh Ngabdurachman
bergelar Raden Haryo Tedjo. Lama pemerintahannya ± 41 tahun.
8. Bupati ke-8: Raden Haryo Wilatikta
Sepeninggal Raden Haryo Tedjo, penggantinya
adalah puteranya bernama Raden Haryo Wilatikta. Lama pemerintahan Raden
Harya Wilatikta ± 40 tahun. Pada masa pemerintahannya, ada sesuatu yang patut
menjadi bahan diskusi tentang sosok Raden Haryo Wilatikta ini. Suwardjan dan
Siti Alfiah (1987:19) dengan merujuk keterangan Tome Pires ketika berkunjung ke
Tuban menuliskan, “Keluarga rajanya sekalipun beragama Islam, sejak pertengahan
abad ke-15 tetap mengadakan hubungan baik dengan maharaja Majapahit di
pedalaman. Sebagian penduduk kota Tuban pada jaman itu masih kafir (belum masuk
Islam, red.). Menurut musafir itu, raja Tuban pada waktu itu disebut Pate Vira.
Ia bukan seorang Islam yang taat meskipun kakaknya masuk Islam.”
Selanjutnya Suwardjan dan Siti Alfiah menjelaskan
bahwa kata Vira kita kenal dengan kata Wira, yang sering menjadi bagian dari
nama Jawa. Tetapi, dapat juga Vira dihubungkan dengan Wilatikta. Jika itu benar
Wilatikta, maka perlu kita bertanya, mengapa putra seorang ulama besar Syeh
Ngabdurrachman yang bergelar Raden Haryo Tedjo menjadi seorang muslim yang
tidak taat?
Pada bagian lain Suwardjan dan Siti Alfiah
(1987:20) dengan mengutip pendapat H.J. de Graaf mengemukakan, bahwa sulit
dibayangkan bagaimana bisa terjadi Aria dari Tuban yang beragama Islam itu,
sebagai pejabat terkemuka di wilayah kerajaan Majapahit yang sebagian besar
belum memeluk agama Islam.” Keberatan ini tampaknya cukup beralasan karena
setiap tahun pada waktu yang ditetapkan, adipati Tuban harus tinggal untuk beberapa
lama di Majapahit dan tidak mungkin membebaskan diri dari upacara-upacara
ritual non-Islam. Upacara-upacara itu merupakan bagian dari politik Kerajaan
Majapahit.
Tampaknya, Wilatikta adalah abdi yang lebih setia
kepada rajanya daripada kepada agamanya. Sangat masuk akal jika perbedaan paham
ini sampai membuat putranya yaitu Raden Said meninggalkan Tuban untuk tinggal
di Demak. Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:20) mempertegas, “Jelas antara R.
Harya Wilatikta dan R. Sahid ada pertentangan besar.”
Analisis ini diperkuat dengan kondisi objektif di
Makam Sunan Bonang. Sebelah kiri Makam Sunan Bonang antara lain bersemayam Kyai
Ageng Ngraseh dan Pangeran Balewot. Sedangkan di sebelah kanan bersemayam Kyai
Ageng Botobang dan Kyai Ageng Gegilang.
Lalu, di manakah makam Raden Harya Wilatikta?
Raden Harya Wilatikta dimakamkan di bagian
pelataran makam induk Sunan Bonang dan keempat tokoh Tuban yang dianggap dekat
dengannya. “Jadi, dapat diterima keempat bupati yang dimakamkan dengan Sunan
Bonang di atas adalah para bupati yang masih erat dengan pengaruh para wali
khususnya Sunang Bonang” (Suwardjan dan Siti Alfiah,1987:21).
9. Bupati ke-9: Kyai Ageng Ngraseh
Pengganti Raden Haryo Wilatikta adalah menantunya
yaitu Kyai Ageng Ngraseh yang juga putera adipati ke-6, Raden Haryo
Dikara. Lama pemerintahannya ± 40 tahun.
10. Bupati ke-10: Kyai Ageng Gegilang
Sepeninggal Kyai Ageng Ngraseh, jabatan adipati
Tuban digantikan oleh puteranya bernama Kyai Ageng Gegilang. Lama
pemerintahannya ± 38 tahun.
11. Bupati ke-11: Kyai Ageng Batabang
Pengganti Kyai Ageng Gegilang adalah Kyai
Ageng Batabang. Lama pemerintahannya ± 14 tahun.
12. Bupati ke-12: Raden Haryo Balewot
Adipati Tuban ke-12 adalah putera Kyai Ageng
Batabang bernama Raden Haryo Balewot. Beliau dikaruniai dua putera yaitu
Pangeran Sekartandjung dan Pangeran Ngangsar. Lama pemerintahannya ± 56 tahun.
13. Bupati ke-13: Pangeran Sekartandjung
Raden Haryo Balewot kemudian digantikan putera
sulungnya bernama Pangeran Sekartandjung. Adipati ke-13 ini mengalami nasib
tragis karena meninggal di tangan saudara kandungnya yaitu Pangeran Ngangsar.
Pada waktu Pangeran Sekar Tanjung Sholat Jum’at
di masjid dalam posisi rukuk Pangeran Sekar Tanjung ditikam dari belakang oleh
adiknya sendiri yaitu Pangeran Ngangsar. Pangeran Ngangsar dalam mimpinya
mendapat wasiat maka dengan senjata keris yang bernama “Kyai Layon” ditikamlah
Pangeran Sekar Tanjung.
Pangeran Sekar Tanjung menjadi adipati selama ±22
tahun. Pangeran Sekartandjung dikarunia dua putera yaitu Pangeran Haryo
Permalat dan Haryo Salempe. Namun, pada waktu ayahnya meninggal dunia keduanya
masih kecil/ masih muda.
14. Bupati ke-14: Pangeran Ngangsar
Setelah berhasil membunuh saudaranya,
Pangeran Ngangsar menjadi adipati Tuban ke-14. Lama pemerintahannya hanya ± 7
tahun.
15. Bupati ke-15: Pangeran Haryo Permalat
Sepeninggal Pangeran Ngangsar, penggantinya
adalah Pangeran Haryo Permalat. Adipati Tuban ke-15 ini adalah menantu
Sultan Pajang, Raden Djaka Tingkir. Pangeran Haryo Permalat memang berseteru
dengan Penguasa Mataram yaitu Panembahan Senapati. Selama
pemerintahannya, Tuban pernah diserang oleh Mataram yaitu pada tahun 1598 dan
1599. Namun, serangan-serangan Mataram itu gagal karena Tuban pada waktu itu
mempunyai pertahanan sangat kuat.
Lama pemerintahannya ± 38 tahun. Beliau mempunyai
seorang putera bernama Pangeran Dalem.
16. Bupati ke-16: Haryo Salempe
Ketika Pangeran Haryo Permalat mangkat, yang
menggantikannya adalah Haryo Salempe yang juga putera dari adipati ke-13.
Hal ini disebabkan, Pangeran Dalem masih kecil. Lama pemerintahannya ± 38
tahun.
17. Bupati ke-17: Pangeran Dalem (1614-1619)
Berakhirnya pemerintahan Adipati Haryo Salempe,
yang menggantikannya adalah Pangeran Dalem. Pada tahun 1619, Tuban
diserang oleh Mataram. Terjadi pertempuran sengit yang mengakibatkan Benteng
Kumbakarna jatuh ke tangan musuh. Siasat penyusupan kekuatan Mataram ke dalam
tubuh pemerintahan Tuban berbuah kemenangan Mataram atas Tuban. Hal ini
mengakibatkan Pangeran Dalem harus menyingkir ke Bawean. Istri Pangeran
Dalem bernama Kumalarena juga meninggal di Bawean.
Sepeninggal istrinya, Pangeran Dalem menuju
ke Rajekwesi, Bojonegoro sampai mangkat dan dimakamkan di Kadipaten,
Bojonegoro. Mengapa Pangeran Dalem justru menuju ke Bojonegoro yang begitu
dekat dengan Tuban? Ternyata salah satu alasan yang masuk akal adalah karena
Pangeran Dalem mempunyai saudara bernama R. Ayu Djamus yang sangat berpengaruh
di Bedander, Bojonegoro.
Makam Buyut Dalem berada di dalam sebuah cungkup
yang terawat dengan baik. Namun, di samping makam utama tersebut bersemayam
pula seorang tokoh wanita pujaan hati Buyut Dalem bernama Srihuning yang
mendapat julukan Mustika Tuban karena semangatnya “labuh
tresna sabaya pati”.
Bersumber dari keterangan pihak Dinas Pariwisata
Kabupaten Bojonegoro dan dua orang juru kunci makam Buyut Dalem, “Di makam ini
selalu diadakan semacam sedekah bumi yaitu jatuh pada setiap hari Rabu Wage,
bulan September. Kegiatan ritual ini diawali pada hari Rabu Pahing dengan “mayu
alang-alang” yaitu mengganti atap cungkup yang terbuat dari alang-alang.
Selain itu juga dilakukan penggantian pasir yang ada di dalam makam.”
Di dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat
Daerah Bojonegoro (2003:20) dijelaskan:
“Payon cungkup saka makam Pangeran Dalem saben tahun
ajeg didandani (saka alang-alang), nanging sing ngerjakake sawijinging
nom-noman lan kudu kramas dhisik. Sing ngresiki platarane kudu tandhak, nanging
ora oleh diganggu.”
Artinya:
“Atap cungkup dari makam Pangeran Dalem setiap tahun selalu diganti
baru (dari alang-alang), namun yang mengerjakan adalah seorang pemuda dan harus
keramas terlebih dahulu. Yang membersihakan pelatarannya harus seorang tandak,
akan tetapi dia tidak boleh diganggu.”
Kegiatan ritual utama jatuh pada hari Rabu Wage.
Kegiatan yang dilakukan adalah sedekah bumi dengan menggelar uyon-uyon dan
langen tayub di sekitar makam.
18. Bupati ke-18: Pangeran Podjok
Terusirnya Pangeran Dalem dari singgasana
Kadipaten Tuban menandai pergantian garis keturunan penguasa Tuban yakni dari
garis keturunan Kyai Ageng Papringan ke tangan garis keturunan Mataram.
Siapa sebenarnya Pangeran Podjok itu?
Menurut H. Abdul Sarpin, Ketua Yayasan Sunan
Podjok, “Pangeran Podjok menurut Mbah Sabib, Menganti, Bugel, Jepara mempunyai
nama kecil Benun. Ia juga dikenal dengan nama Syekh Abdul Rachim. Setelah
meninggal baru dijuluki dengan nama Pangeran Podjok. Alasannya karena meninggal
di Desa Podjok, Blora.”
Gatot Pranoto, S.E., ketua Yayasan Mahameru yang
juga tokoh sejarawan Blora dengan merujuk Babad Mentawis menerangkan bahwa pada
masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) mempunyai semacam
skala prioritas antara lain Kadipaten Tuban yang selama ini menjadi batu
ganjalan bagi Mataram harus segera ditakhlukkan. Oleh karena itu, Sultan Agung
mengeluarkan “Kekancing” (semacam surat perintah tugas) kepada Benun
yang saat itu menjabat sebagai Surobahu; setingkat dengan tumenggung. Inti dari
“Kekancing” itu adalah tugas untuk memadamkan pemberontakan Tuban.
Misi dari Surobahu Abdul Rachim ternyata
berhasil dengan baik (1619). Pergantian penguasa di Tuban ini tentunya
menempatkan Surobahu Abdul Rachim untuk menjaga stabilitas Tuban. Adipati Tuban
ke-18 ini menjalankan tugasnya ± 42 tahun.
Menurut R. Soeparmo (1972:85) “Pada hari grebeg
maulud tahun Dal semua bupati di seluruh tanah Jawa datang ke Mataram untuk
menghadap Sri Sultan. Demikian pula halnya dengan bupati Pangeran Podjok.
Tetapi ketika perjalanan beliau menuju Mataram sampai Blora, beliau mendadak
sakit dan mangkat di situ juga.”
Menurut Asmoengin TA., Kasi Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Blora (1982:25) “Pangeran Surobahu Abdul
Rachim adalah perwira dari Mataram yang berhasil memadamkan kerusuhan di
pesisir utara (Tuban). Sepulang dari Tuban di perjalanan jatuh sakit dan
meninggal dunia di Desa Pojok (Blora). Oleh putranya dipindahkan di tempat yang
sekarang.”
Pada waktu berziarah ke makam tersebut, tim
penggali sejarah mendapatkan fakta bahwa di kompleks Makam Gedong/Pagedongan
yang terletak di Kauman, sebelah selatan alun-alun Kota Blora bersemayam antara
lain: 1. Pangeran Surobahu Abdul Rachim, 2. Pangeran Joyodipo (putra Pangeran
Surobahu Abdul Rachim yang juga Bupati Blora I), 3. Joyodiwiryo (adipati
Blora), 4. Pangeran Joyokusuma (adipati Blora), Istri Pangeran Joyokusuma dan
kerabat kadipaten lainnya.
19. Bupati ke-19: Pangeran Anom
Setelah Pangeran Podjok meninggal, yang
menggantikan adalah adiknya bernama Pangeran Anom. Lama pemerintahannya ± 12
tahun. Beliau diberhentikan dari jabatan adipati Tuban atas perintah Sultan
Agung Mataram.
Menurut R. Soeparmo (1972:84) di Kabupaten Tuban
untuk sementara waktu jabatan bupati ditiadakan. Konsekuensinya, Tuban
diberikan semacam perwakilan yang disebut dengan istilah “Umbul” (setingkat
kademangan) sebanyak empat orang yaitu:
1) Umbul Wongsoprodjo yang ditempatkan di Jenu
2) Umbul Wongsohito yang ditempatkan di Gesikharjo (Palang)
3)Umbul Wongsotjokro yang ditempatkan di Kidul
Ngardi (Sebelah selatan gunung = Rengel)
4) Umbul Joedoputro yang ditempatkan di Singgahan.
20. Bupati ke-20: Arya Balabar
Adipati Tuban ke-20 adalah Arya Balabar atau Arya
Blender yang juga berasal dari keturunan Mataram. Lama pemerintahannya ±
39 tahun. Salah satu yang dilakukan pada waktu memerintah di Tuban adalah
membuat masjid terletak sebelah barat makam Sunan Bonang.
21. Bupati ke-21: Pangeran Soedjonopuro
Setelah Pangeran Arya Balabar mangkat,
penggantinya adalah Pangeran Soedjonopuro yang semula menjabat Bupati Japanan
(Mojokerto). Lama pemerintahannya ± 10 tahun sampai beliau wafat.
22. Bupati ke-22: Pangeran Joedonegoro
Pengganti Pangeran Soedjonopuro adalah puteranya
yaitu Pangeran Joedonegoro. Lama pemerintahannya ± 15 tahun.
23. Bupati ke-23: Raden Arya Surodiningrat
Pangeran Joedonegoro setelah wafat yang
menggantikan menjadi Bupati adalah Raden Aryo Surodiningrat yang berasal dari
Pekalongan. Pada waktu memerintah, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh R.
Arya Diposono. Pemberontakan ini dibantu oleh orang Madura bernama “Kyai
Mangundjojo“. Raden Aryo Surodiningrat tewas dalam peperangan. Lama
pemerintahannya ± 12 tahun.
24. Bupati ke-24: Raden Aryo Diposono
Raden Arya Surodiningrat yang gugur di medan
pertempuran melawan pemberontak, akhirnya digantikan oleh Raden Aryo Diposono.
Tercatat dalam sejarah, waktu memegang pemerintahan terjadi pertempuran dengan
orang-orang Madura yang dahulu mendukungnya. Pertempuran itu terjadi di Desa
Singkul atau Sedayu. Raden Aryo Diposono juga gugur dalam medan pertempuran.
Lama pemerintahannya ± 16 tahun.
25. Bupati ke-25: Kyai Reksonegoro
Jabatan adipati Tuban berikutnya digantikan oleh
Patih Kyai Reksonegoro. Setelah menjabat adipati bergelar Kyai Tumenggung
Tjokronegoro. R. Soeparmo (1972:86) memberikan penjelasan bahwa pada tahun 1773
Gubernur Van der Burgh mengusulkan kepada Sultan Agung Mataram agar
bupati Tuban dipecat karena kebijakan pemerintahannya memberatkan penduduk dan
tidak dapat memenuhi tugasnya yaitu membayar upeti kepada Belanda. Lama
pemerintahan Kyai Tumenggung Tjokronegoro ± 47
tahun.
26. Bupati ke-26: Kyai Poerwonegoro
Sepeninggal Kyai Reksonegoro, penggantinya adalah
puteranya yaitu Kyai Poerwonegoro. Setelah memerintah selama ± 24 tahun,
beliau menderita sakit dan mengambil perlop atau cuti. Oleh karena itu,
beliau terkenal dengan sebutan Bupati Perlop.
27. Bupati ke-27: Kyai Lieder Soerodinegoro
Pengganti Kyai Poerwonegoro adalah Kyai Lieder
Soerodinegoro. Lama pemerintahannya hanya ± 3 tahun.
28. Bupati ke-28: Raden Poerjoadiwidjojo
Setelah Kyai Lieder Soerodinegoro mangkat, yang
menggantikan sebagai adipati Tuban adalah puteranya Raden Poerjoadiwidjojo atau
Raden Tumenggung Soerojodinegoro . Lama pemerintahannya ± 12 tahun.
Setelah itu beliau berhenti dari jabatan bupati.
29. Bupati ke-29: Pangeran Tjitrosomo VI (1800-1836)
Ketika Raden Poerjoadiwidjojo berhenti dari
jabatan adipati Tuban yang menggantikan adalah Pangeran Tjitrosomo VI dari
Jepara.
Tim penggali sejarah mendapatkan kesempatan untuk
melacak silsilah Pangeran Tjitrosomo di Jepara. Atas bantuan Dinas Pariwisata dan
Dinas Pendidikan Kabupaten Jepara, tim penggali berhasil bertemu dengan salah
satu keturunan Tjitrosomo. Beliau bernama Raden Moeh Akrom Wijanarko yang
tinggal di Purwogondo, Kecamatan Pecangakan, Jepara. Bukti bahwa beliau
keturunan Tjitrosomo adalah dengan diperolehnya Piagam Mangkunegaran,
Surakarta tertanggal 13 Juni 1988. Bersumber dari data koleksi pribadi yang
dibukukan dalam Silsilah Citrosoman inilah tim penggali
sejarah mendapatkan sumber yang sangat berharga.
Siapakah sebenarnya Pangeran Tjitrosomo VI itu?
Pangeran Tjitrosomo VI adalah putra ke-8 dari
R.M.A.A. Citrosomo V, Bupati Jepara yang semula menjadi bupati di Kudus dengan
nama dan gelar R.M.A.A. Mangkuwidjojo. Nama asli dari Tjitrosomo VI adalah
R.M.Ng. Notowidjoyo I. Sepeninggal ayahnya, beliau menggantikan kedudukan
sebagai adipati Jepara. Beliau kemudian ditugaskan untuk menjadi adipati Tuban.
Jasanya selama memerintah di Tuban adalah membangun rumah kabupaten pada tahun
1821 yang menjadi tempat kediaman bupati sampai sekarang.
Setelah memerintah selama ± 6 tahun, beliau
dipindahkan ke Lasem. Masa pemerintahannya di Lasem berjalan ± 3 tahun dan
akhirnya kembali menjadi adipati Jepara dalam masa Perang Diponegoro
(1825-1850). Pada makam beliau yang terletak di Desa Sendang,
Kecamatan Kalinyamatan, Jepara tertulis masa pemerintahannya di Jepara yaitu
tahun 1800-1836.
0 Komentar:
Posting Komentar