Selasa, 24 Januari 2012

Kemiskinan Dan Pembangunan Partisipatif

Banyak kalangan yang akhir-akhir ini mempertanyakan peran Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dalam mengentaskan kemiskinan. Diberbagai kesempatan diskusi, dialog dan pertemuan yang diselenggarakan oleh kalangan LSM, birokrasi, akademisi yang mempertanyakan tentang “ketidakmampuan” program PNPM dalam menanggulangi kemiskinan, padahal anggaran untuk PNPM yang bersumber dari pinjaman Bank Dunia cukup besar.
PNPM intinya dianggap gagal dalam peran mengentaskan kemiskinan melalui kegiatan program-programnya. PNPM kegiatan programnya tidak mampu menuntaskan salah satu atau beberapa indikator “jarum jam” penunjuk angka kemiskinan yang ditetapkan BPS. Indikator yang sebenarnya lebih bersifat artifisial (kulit luar) dibanding substansial. Semacam indikator kemiskinan adalah rumah lantai, belum punya MCK, tidak menggunakan listrik, dsb.
Benarkah PNPM gagal dalam relasi pengentasan kemiskinan? benar, dari kacamata kaum teknokrat developmentalis yang memiliki paradigma kemiskinan dan kesejahteraan dilihat dari dimensi fenomenologis. Dimensi “bentuk” kemiskinan dan bukannya menelisik akar kemiskinan.
PNPM dalam sudut pandang pemikiran liberatif tidaklah gagal mengentaskan kemiskinan, dan justru PNPM menjadi bagian program pembangunan yang berorientasi masyarakat untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia, organisasi dan inisiasi kegiatan sektor ekonomi masyarakat berbasis perencanaan partisipatif.
Yang menganggap PNPM gagal mengentaskan kemiskinan adalah mereka yang menggunakan “pisau tumpul” analisa sosial yang konservatif. Ada tiga hal mengapa PNPM diasumsikan gagal mengentaskan kemiskinan yang salah kaprah logikanya:
Pertama, jumlah kemiskinan diarea program PNPM bertambah dan sementara program PNPM jalan terus dengan anggaran yang cukup besar. Kedua, PNPM tidak klop kegiatan programnya dalam menuntaskan 18 indikator kemiskinan ala BPS. Ketiga, PNPM tidak bersentuhan programnya dengan orang miskin.
Jumlah kemiskinan memang niscaya akan selalu bertambah baik ada program PNPM atau tidak, Kemiskinan di Indonesia adalah terkategori kemiskinan struktural yang diciptakan oleh sistem ekonomi neoliberalisme yang dipraktekkan oleh negara (rezim) sejak zaman soeharto sampai kini. Sistem ekonomi yang mengacu kepada ekonomi pasar bebas dengan dogmanya liberalisasi,privatisasi, penghapusan subsidi. sistem ekonomi tersebut melahirkan konglomeratisasi yang menghancurkan fondasi ekonomi kerakyatan dan menciptakan dominasi ekonomi (modal) korporasi terhadap realitas ekonomi rakyat. Output yang diciptakan adalah kemiskinan abadi yang dialami kelompok mayoritas yang nir akses modal dan tidak memiliki ketahanan ekonomi.
Sektor sosial yang mengalami kemiskinan adalah petani akibat liberalisasi impor pangan dan liberalisasi impor sarana produksi yang menguras daya beli mereka. Komunitas buruh yang mengalami pemiskinan abadi karena liberalisasi investasi dengan konsesi upah murah. komunitas nelayan yang terjarah eksistensi ekonominya karena pasar bebas produk kelautan.
selama sistem ekonomi yang anti konstitusi (pasal 33 UUD 45) dijalankan maka kemiskinan akan terus terjadi. PNPM dan program penanggulangan kemiskinan yang lain—-apalagi yang berwatak birokratis—–hanya seperti “obat merah” untuk luka yang telah membusuk.
Indeks dan jumlah angka kemiskinan jelas terus meningkat jika data statistik jujur, termasuk dilokasi PNPM karena kemiskinan diciptakan oleh struktur ekonomi nasional / internasional yang tidak adil dan anti rakyat. Bukan PNPM yang harus disalahkan karena program PNPM telah berada dalam jalur on the track, namun sistem dan kebijakan ekonomi negara yang kapitalistik.
Program PNPM tidak klop dengan program penanggulangan kemiskinan berindikator 18 hal model BPS? yang harus disalahkan jelas 18 indikator model BPS yang wataknya kulit luar (artifisial). Karena indikator kemiskinan sesungguhnya adalah ketika masyarakat semakin rendah daya beli dan semakin menurun pendapatannya yang tidak mampu untuk membiayai kehidupan sosial mereka. Kemiskinan ketika rasio pendapatan masyarakat menurun sementara biaya kebutuhan dasar termasuk kebutuhan sosial diberbagai bidang—-pendidikan, kesehatan—–semakin mahal. kemiskinan adalah ketika masyarakat tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya karena biaya sekolah mahal, tidak mampu berobat yang layak karena ongkos kesehatan mahal, tidak mampu membeli sembako karena harga sembako mahal.
Indikator kemiskinan ala BPS adalah bercorak developmentalis neoliberal. Indikator yang mengabaikan prinsip dasar kesejahteraan masyarakat dan tidak jujur terhadap definisi kemiskinan yang substansial.
Sedangkan anggapan PNPM tidak bersentuhan dengan orang miskin adalah asumsi yang salah kaprah, karena program PNPM menjangkau hampir 90 % perdesaan dinegeri ini. PNPM sebagai bentuk pembangunan partisipatif sebagaimana konsep pembangunan di Porto Allegre, Brazil melibatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Mekanisme PNPM paling demokratis dan popular. sedangkan jika program PNPM dianggap 60 % kepada pembangunan fisik hal tersebut disebabkan mindset masyarakat yang terbentuk oleh politik pembangunan orba selama 32 tahun. sehingga rumusan kegiatan programnya adalah pembangunan sarana dan prasarana umum.
Investasi sosial PNPM yang terpenting adalah perencanaan berbasis kepentingan masyarakat dan datangnya dari bawah. PNPM tidak bersifat teknokratis dan birokratis yang penuh kebocoran, pungli dan upeti.
PNPM memang banyak kelemahan dalam pelaksanaan program-programnya, namun kelemahan tersebut disebabkan oleh ketidaksiapan struktur sosial masyarakat, kerelaan birokrasi dan politik pembangunan yang tidak pro publik. PNPM memang ada titik kerawanan dan kebocoran anggaran, namun titik rawan dan kebocoran PNPM relatif terkontrol dan tidak menjadi akar kemiskinan baru.
Yang paling penting ditingkatkan dari PNPM saat ini meski akan berakhir tahun 2014 adalah PNPM harus lebih menjadi program pro rakyat yang progresif dengan menjadikan masyarakat sebagai subjek pembangunan. Gagasan dan realisasi integrasi perencanaan yang diperkirakan akan menghilangkan ruh partisipasi masyarakat bisa disiasati dengan memperkuat kapasitas organisasi rakyat dan melakukan proyek edukasi politik demokrasi masyarakat. sehingga masyarakat bisa menuntut hak anggaran untuk pembangunan dari bawah. masyarakat bisa mempengaruhi kebijakan politik anggaran dengan kekuatan sosiologisnya.
PNPM adalah pembelajaran partisipasi pembangunan yang mahal harganya dan menjadi antitesa dari pembangunan kapitalistik ala orde baru yang koruptif dan tidak memiliki akar fondasi yang kuat sehingga hancur diterjang krisis global. LANJUTKAN...!!!

Opini ini dikirim oleh :
Satya Sandhatrisa Gunatmika
satyasandhatrisagunatmika@yahoo.com
Adalah Analis pembangunan partisipatif.
Tinggal di Perum Puro Asri Blok D1/11 A, Puro, Karangmalang, Sragen

Sumber Berita :

0 Komentar:

Posting Komentar