Tuban dikenal sebagai kota tua di bumi Nusantara. Hal itu bisa dibuktikan dari usianya yang sudah mencapai tujuh ratus tahun lebih. Jika dibandingkan dengan kota atau kabupaten lain di Indonesia, usia itu tegolong jauh di atas rata-rata. Bahkan lebih tua daripada Jakarta atau Surabaya sekalipun. Usia Tuban diambil dari pengakuan resmi Kerajaan Majapahit terhadap Kadipaten Tuban dengan melantik Raden Arya Ronggolawe sebagai Adipatinya (1293 M).
Sedangkan nama Tuban sendiri dikukuhkan kurang lebih 20 tahun sebelumnya oleh Ki Ageng Papringan alias Raden Aryo Dandang Wacana (Kakek Ronggolawe). Beliau menamakan kampung yang dibangunnya sebagai Tuban, yang berasal dari kata meTU-BANyune, setelah sekian lama air tawar sulit didapatkan di daerah pantai. Kampung itu kemudian menjadi kota kecil dan Ki Ageng Papringan bertindak sebagai pemimpinnya (R. Soeparmo, 1971: 42).
Tetapi ternyata banyak di antara kita yang tidak menyangka bahwa cikal bakal Tuban sebenarnya sudah ada jauh sebelum tahun kelahiran itu sendiri. Dalam sejarah Lamongan dapat kita baca bahwa pada tahun 1041 Prabu Erlangga pernah mengadakan perjalanan dari ibu kota kerajaan Kahuripan menuju pelabuhan Kambang Putih, di mana letak pelabuhan tersebut ditengarai berada di antara pantai Boom sampai dengan Klenteng Kwan Sing Bio. Sedangkan tahun 1041 dapat dibuktikan dari petilasan beliau saat beristirahat di desa Pamotan kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan. Pada jaman itu Kambang Putih ditetapkan sebagai pelabuhan antar negara, sedang untuk pelabuhan antar pulau Erlangga menggunakan Canggu yang terletak di tepi sungai Brantas (Poerwadhie Atmodihardjo, 1984: 51)
Prabu Erlangga memerintah Kerajaan Kahuripan dari tahun 1019 - 1042 masehi. Perjuangannnya membangun negeri dari reruntuhan kerajaan Medang yang hancur akibat serangan musuh (1007) mendapat dukungan penuh dari para pemuka agama. Kecintaan para brahmana kepada pemuda asal Bali ini tergambar dalam kitab Arjunawiwaha, di mana Erlangga diidentikkan sebagai Sang Arjuna jagonya para dewa yang berhasil membunuh raja raksasa Niwatakawaca. Bahkan oleh para kawula, raja muda ini diyakini sebagai titisan Batara Wisnu yang hadir ke tengah dunia untuk menata kehidupan umat manusia. Tidak heran jika kemudian Erlangga dipuja dan dicintai oleh rakyatnya.
Dari Kerajaan Jenggala Hingga Pajajaran
Selama 23 tahun dalam pemerintahannya kerajaan Kahuripan telah mengalami kejayaan. Namun sebagai seorang raja agung Erlangga waskito ing paningal. Dalam pandangannya dunia adalah waktu yang senantiasa berjalan. Seiring dengan kehendak jaman maka yang baru lahirpun akan beranjak dewasa dan yang tua harus mendapatkan tempatnya di alam baka. Dan Erlangga sadar sepenuhnya akan hal itu. Maka setelah berhasil membujuk putri sulungnya Dewi Kilisuci untuk menjadi seorang biksuni, pada tahun 1042 beliau lantas membagi kerajaan Kahuripan menjadi dua. Putranya yang lebih tua Raden Jayanegara mendapatkan Kediri sedang yang muda Raden Jayengrono memperoleh Jenggala.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, untuk mengukuhkan kebijaksanaan itu Erlangga meminta Mpu Baradha untuk mengadakan upacara suci besar-besaran di lapangan mayat Wurare (sekarang bernama Surabaya). Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1045. (C.c. Berg dalam Goenawan, 1974: 39). Selanjutnya sang raja agung lantas lengser keprabon menjadi seorang brahmana di pertapaan Kapucangan dengan nama Resi Gentayu.
Itulah keadilan, untuk harga sebuah keadilan Erlangga rela mengorbankan keutuhan negara yang telah susah payah dibangunnya. Dan sebenarnyalah sebagai manusia pilihan dia tahu benar, dalam pandangan batinnya sudah tergambar bahwa antara kedua anaknya tidak akan bisa hidup berdampingan. Mantra-mantra sakti Mpu Baradha walau seberapapun ampuhnya hanyalah sekedar usaha manusia, sedangkan takdir adalah kehendak sang Pencipta yang hanya dapat berubah atas ijin sang Pencipta sendiri.
Oleh karena itu Resi Gentayu tetap yakin bahwa akan ada satu di antara dua anaknya yang pasti menang, dan bagi yang kalah mati atau lari sebagai konsekwensinya. Keyakinan itu semakin diperkuat dengan ketidak sempurnaan Mpu Baradha saat melakukan tugas besar itu. Meskipun mantra-mantra suci sudah terloncat dari mulut sang mpu, namun tak urung jubah yang dia kibarkan tersangkut pada sebuah pohon asam kate (kamal pandhak). Ini adalah sebuah firasat kegagalan.
Tetapi di manapun tidak ada raja agung yang tanpa mewariskan strategi politik kepada anak turunnya. Tidak terkecuali Erlangga yang melalui sasmito gaibnya telah membisikkan wasiat kepada siapa yang akan tersisih. Demikianlah, waktu silih berganti. Raja Jenggala pertama digantikan oleh putranya Prabu Anom Kertopati dan kemudian Prabu Mahesa Tandreman sebagai raja ketiga. Apa yang dikhawatirkan Resi Gentayu ternyata terbukti. Terjadi perselisihan hebat antara Kediri dan Jenggala. Dan buah dari perselisihan adalah pelarian diri. Saat itu di awal abad ke-12, Prabu Mahesa Tandreman atau Kuda Lalean terpaksa harus melarikan diri ke barat untuk menghindari serangan Kediri. Dicarinya daerah yang sama sekali tidak terjangkau oleh pengaruh saudaranya. Maka pada sebuah dataran tinggi di Jawa Barat (sekarang: dekat Bogor) dia dirikan sebuah kerajaan yang dia beri nama Pajajaran.
Di Kerajaan Pajajaran, setelah Prabu Tandreman wafat digantikan putranya Prabu Banjaransari. Dalam diri Prabu Banjaransari inilah mengalir keagungan darah Erlangga. Beliau adalah seorang raja yang gemar sekali bertapa. Tidak heran jika sang prabu merasakan bahwa Kerajaan Pajajaran tidak akan dapat berdiri lama, sementara sang rajapun sadar akan kewajibannya untuk mengembalikan kejayaan darah leluhur. Baginya Kerajaan Pajajaran boleh saja runtuh, tetapi keturunan Erlangga tidak akan mudah lenyap begitu saja. Oleh karena itu demi menjunjung pesan leluhur, Prabu Banjaransari segera bergerak trengginas.
Ada dua langkah strategis yang dia terapkan dalam usianya yang tidak lagi muda itu. Pertama mengangkat putranya Mundhingsari sebagai putra mahkota yang kelak menggantikannya sebagai raja Pajajaran. Kedua menugaskan Raden Matahun (putra dari garwo selir) untuk mengadakan penyelidikan ke wilayah timur. Guna membantu misi itu sang raja segera mengirimkan beberapa telik sandi. Saat itu Jawa Timur sedang dikuasai oleh Kerajaan Singosari dengan rajanya Ken Arok yang menghancurkan Kediri pada tahun 1222. Meskipun Raden Matahun gagal melakukan tugas ekspedisi, namun tugas itu disanggupi oleh anaknya, yaitu Raden Randu Kuning.
Ketika Raden Randu kuning siap melaksanakan tugasnya, kejayaan Pajajaran sudah semakin berkurang. Suksesi kepemimpinan telah berlangsung beberapa kali. Prabu Banjaransari digantikan Prabu Mundhingsari, kemudian Prabu Mundhingwangi, dan yang terakhir Prabu Sri Pamekas. Raja yang terakhir ini memiliki tiga anak, yakni Raden Susuruh, Raden Arya Bangah, dan Raden Siyung Wanara yang dibuang oleh raja karena lahir sebagai anak yang aneh dan menakutkan. Dalam cerita rakyat kita mengetahui bahwa riwayat kerajaan Pajajaran berakhir karena dihancurkan oleh Siyung Wanara yang merasa dendam kepada ayah dan saudara-saudaranya. Sri Pamekas gugur di dalam penjara, sementara Raden Susuruh dan arya Bangah lari ke wilayah timur (C.c. Berg dalam Goenawan, 1974: 116).
Ekspedisi Kambang Putih
Atas ijin Prabu Sri Pamekas, pada sekitar tahun 1225 Raden Randu kuning melaksanakan tugasnya melanglang buwana ke arah timur. Hal ini sebagai reaksi atas hancurnya kerajaan Kediri karena perbuatan Ken Arok. Bagi mereka tujuan utama ekspedisi ini adalah pelestarian darah Erlangga. Meskipun mereka tidak dapat melupakan penghinaan para bangsawan Kediri terhadap Jenggala lebih dari seabad yang lalu, namun kehancuran Kediri berarti ancaman terhadap eksistensi trah Kahuripan. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan. Begitulah, Raden Randu kuning meninggalkan Pajajaran. Setumpuk strategi telah dia emban dari sang eyang Prabu Banjaransari swargi.
Tidak jelas, apakah satria Pajajaran ini dalam perjalanannya melewati darat atau laut, tetapi sejarah menerangkan bahwa Raden Randu Kuning menjadikan daerah sekitar pelabuhan Kambang Putih sebagai sasaran pertama. Mengapa harus ke Kambang putih, tidak ke Kediri, Canggu, atau langsung menembus jantung kota Singosari ? Hal ini menunjukkan kecerdasan politik tingkat tinggi dalam diri generasi Erlangga, terutama Prabu Bajaransari sebagai perumus ekspedisi dan Raden Randu Kuning sebagai pelaksananya.
Sebagai negara baru, Singosari masih dalam tahap konsolidasi. Apalagi Ken Arok yang semula hanya sebagai hamba sahaja lantas madeg suraning driyo jumeneng noto. Tentu saja konsentrasi pengawasan teritorial masih dalam kondisi lemah, sehingga masuknya Raden Randu Kuning ke daerah Kambang Putih tidak sempat terdeteksi oleh petugas sandi Singosari. Di samping itu Singosari seperti layaknya kerajaan lain tidak dapat hidup tanpa kerja sama dengan negara-negara tetangga, sedangkan posisi Kambang Putih sebagai pelabuhan antar negara saat itu jelas memiliki peranan yang sangat dominan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Tan Khoen Swie (1936) dalam Serat Babat Toeban bahwa Raden Randu Kuning memulai tugasnya dengan cara membuka hutan Srikandi (wilayah Kecamatan Jenu), yang kemudian dia bangun sebuah perkampungan ramai dengan nama Lumajang Tengah. Letak hutan Srikandi kurang lebih 10 Km sebelah barat pelabuhan Kambang Putih. Pada saat itu lalu lintas kapal memang lebih banyak yang melewati jalur barat. Para pedagang dari Sriwijaya, Kamboja, serta negara-negara besar lainnya lebih suka menggunakan selat Malaka, karena di samping aman juga lebih banyak tempat yang dapat disinggahi. Dengan demikian kampung Lumajang Tengah (Srikandi) merupakan tempat yang amat strategis untuk maksud pengintaian.
Kampung Lumajang Tengah semakin ramai dan Raden Randu Kuning sendiri lebih suka mengunakan nama Ki Gedhe Lebe Lodhang. Untuk melanjutkan obsesinya Ki Gedhe merasa perlu memahami keadaan daerah sekitar, sehingga dia minta kepada para pengikutnya untuk mencari tempat lain yang lebih memungkinkan didirikannya sebuah kampung baru. Demikianlah, ketika 15 tahun kemudian Raden Arya Bangah menyusul ke Lumajang Tengah, oleh Ki Gedhe anak Sri Pamekas itu disarankan agar pergi ke arah tenggara.
Raden Arya Bangah yang merupakan cucu keponakan Ki Gedhe Lebe Lodhang segera melaksanakan perintah sang kakek. Setelah melakukan perjalanan beberapa hari dia menemukan tempat yang cukup strategis, yaitu hutan yang di kanan kirinya terdapat sumber air kecil-kecil. Hutan itu bernama hutan Gumenggeng (sekarang menjadi Desa Banjaragung Kecamatan Rengel). Di Kampung Gumenggeng inilah Raden Arya Bangah melatih para pengikutnya menjadi petani-petani yang ulet sehingga kehidupan mereka menjadi makmur.
Ki Arya Bangah memiliki seorang putra yang dia beri nama Arya Dandang Miring. Sebagai sesama darah Kahuripan semangat pemuda ini untuk menjunjung darah Erlangga juga sangat tinggi. Tidak berbeda dengan ayahnya, Ki Dandang miring setelah dewasa juga bercita-cita membangun perkampungan baru. Hal ini dimaksudkan untuk semakin memperkuat dan memperbanyak para pengikut. Akhirnya pemuda itu pergi ke arah barat dan membuka perkampungan di hutan Ancer-Ancer (kira-kira di Kecamatan Bancar).
Akhirnya Ki Dandang Miring juga mempunyai seorang putra yang diberi tetenger Arya Dandang Wacana. Sejak kecil kecerdasan Dandang Wacana sudah nampak jelas, bahkan keuletan dalam menimba ilmu juga tidak kalah dengan ayah atau kekeknya. Setelah menginjak dewasa atas prakarsanya sendiri Ki Dandang Wacana melakukan napak tilas perjalanan ayah serta kakeknya. Dengan petunjuk Yang Maha Kuasa akhirnya dalam perjalanan itu dia menemukan tempat yang amat cocok untuk mendirikan pesanggrahan.
Di sebuah hutan yang diberi nama hutan Papringan dia jumpai sumber air yang semula kecil, tetapi ketika para pengikutnya melakukan penggalian lebih lanjut ternyata sumber air itu luar biasa besarnya. Ki Dandang Wacana meminta para pengikutnya mendirikan perkampungan di sekitar sumber air tersebut, dan dia sendiri akhirnya terkenal dengan nama Ki Ageng Papringan. Kampung tersebut diberi nama Tuban yang merupakan penyederhanaan dari kata meTU-BANyune (sekitar tahun 1270).
Ki Ageng sendiri mendirikan rumah di dekat sumber air dan pada bulan-bulan tertentu mengundang para penduduk. Karena banyaknya orang yang datang sebagai tanda kesetiaan (bekti) kepada Ki Ageng, maka tempat pesanggrahan itu kemudian dinamakan Bektiharjo. Sedangkan Kampung Tuban semakin banyak penduduknya sehingga menjadi desa yang tergolong ramai dan besar.
Akan tetapi ternyata Ki Ageng Papringan tidak gegabah untuk menyatakan diri bahwa Tuban sebagai sebuah kadipaten baru. Terlalu berbahaya bagi keselamatan dia dan pengikutnya, karena hal itu bisa mengundang kecurigaan para telik sandi Singosari. Meskipun demikian misi ekspedisi yang dicita-citakan Prabu Banjaransari untuk tahap pertama dapat dikatakan berhasil, sebab sejak saat itu daerah sekitar Kambang Putih secara praktis sudah dikepung oleh generasi trah Erlangga.
PELANGGARAN HAK CIPTA ..! JANGAN JADI PLAGIATOR ..! SEORANG PEMUDA HARUS BERJIWA KSATRIYA. BUKAN NEBENG DI TULISAN ORANG LAIN.. SEGERA DISEBUT NAMA PENULIS ASLI DAN SUMBERNYA ...! PERINGATAN PERTAMA.. !
BalasHapus