Masa paceklik adalah masa sulit yang tak diharapkan oleh siapa pun. Namun, dibalik masa yang jadi momok ini, muncul sebuah tradisi jawa yang patut dilestarikan, yakni tradisi "Manganan atau Nyadran" ditempat khusus yang dianggap keramat.
Tradisi yang kian pudar karena perkembangan zaman itu seringkali dianggap ketinggalan zaman bahkan sebagian kaum agamawan menganggapnya sebagi sesuatu hal yang tak lazim. Lain halnya dengan masyarakat di sekitar lapangan Migas Blok Cepu, mereka masih mempertahankan budaya ini.
Saat melaksanakan ritual manganan, masyarakat menyediakan aneka jajanan tradisional seperti tape, cucur, onde-onde, lepet, dan apem ditaruh di atas daun jati yang agak lebar. Tak ketinggalan, jajanan itu dicampur dengan nasi putih dan mie kering.
Makanan di atas daun jati itu dibiarkan tergeletak di atas tanah kering yang ditumbuhi alang-alang. Di sekelilingnya para perempuan paruh baya nampak bersimpuh dengan takzim. Di dekatnya, puluhan lelaki juga tampak bersimpuh di atas tanah.
Tidak berselang lama, salah seorang diantara mereka mengucapkan doa dan mereka lalu menengadahkan tangan. Setelah itu, para perempuan mendekati makanan di atas daun jati itu lalu membagi-bagikannya. Namun, hidangan yang tersedia tak seketika mereka makan di tempat itu melainkan dibawa pulang. Bungkusan daun jati itu ditaruh dalam rinjing-rinjing lalu mereka menggendongnya dengan gendongan.
Menurut salah seorang yang mengikuti ritual sedekah bumi itu, Sukijah (70) warga Dukuh Mojodelik, Desa Mojodelik, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, sedekah bumi yang digelar di dekat makam pedukuhan yang dikelilingi hamparan sawah yang hijau dan tampak subur itu dilaksanakan satu tahun sekali. “Ritual sedekah bumi ini sebagai ungkapan terima kasih kami atas keberhasilan panen padi pada musim ini,” ucapnya.
Dikatakan, tradisi sedekah bumi itu telah turun temurun dilakukan. Bahkan, di setiap pedukuhan ada acara sedekah bumi sendiri-sendiri. Untuk diketahui, Desa Mojodelik mempunyai enam pedukuhan yaitu Sogo, Gledekan, Keket, Dawung, dan Rambitan. Di setiap dukuh itu ada sebuah makam yang dipakai untuk sedekah bumi itu.
Tidak jauh dari Dukuh Mojodelik itu, puluhan warga terlihat mengumpul di sebuah makam di Dukuh Gledekan. Para perempuan, anak-anak, dan lelaki bersimpuh di antara cungkup makam. Berbagai makanan yang ditaruh di atas daun jati.
Tak hanya itu, mereka juga terbiasa saling mengirim makanan saat perayaan sedekah bumi. Makanan yang ditaruh dalam bojok atau rinjing itu ditali dengan jarik lalu dibawa ke tempat yang dituju. Ada yang berjalan kaki, namun banyak pula yang mengantarnya naik sepeda angin atau sepeda motor. Melalui jalan setapak dan pematang sawah.
Menurut Minah (67) warga Dukuh Gledekan, Desa Mojodelik, perayaan sedekah bumi ini selain sebagai ungkapan rasa syukur kepada alam, juga bisa mengikat tali persaudaraan. Sebab, kata perempuan itu, sedekah bumi juga mengingatkan agar di antara penduduk saling memberi dan menolong. “Tradisi ini sudah bertahun-tahun kami lakukan,” ucapnya.
Sementara, tidak jauh dari tempat warga Mojodelik menggelar sedekah bumi itu, para pekerja juga tampak sibuk menggali dan menguruk tanah untuk proyek Banyuurip. Mereka sedang sibuk mengerjakan proyek pembuatan waduk dan fasilitas produksi pengolahan minyak mentah di lapangan Banyuurip, Blok Cepu. Dua hal yang saling berbanding terbalik, antara tradisi dan industrialisasi.
0 Komentar:
Posting Komentar