Secara sederhana, bila kita mengacu kata pemberdayaan (empowering)
selama ini adalah sebuah proses untuk menguatkan serta mendayagunakan
agar apa yang sebelumnya tidak berdaya menjadi berdaya. Berdaya dapat
bersifat individual maupun juga bersifat tatanan sosial kemasyarakatan.
Dapat pula disebut sebagai kemandirian, membangun potensi yang
dimilikinya, mengidentifikasi masalah serta sanggup menemukan problem
solving-nya sendiri yang mungkin berasal dari dalam diri maupun yang ada
di luar diri. Kalau meminjam kata Bung Karno adalah “Berdikari”. Suatu
manifesto yang berarti “berdiri di kaki sendiri”. Yaitu suatu
kesanggupan dan juga etos untuk dapat menggerakkan, membangkitkan
semangat juang untuk maju secara kolektif dan “gagah” dalam menghadapi
masalah. Masalah bisa macam-macam, bisa masalah pribadi ataupun masalah
sosial yang peta persoalannya mungkin juga adalah kombinasi dari
keduanya. Bisa datang dari internal masyarakat namun juga ada yang dari
faktor-faktor eksternal di luar masyarakat.
Term pemberdayaan, menjadi populer ketika dalam sebuah survei dan
penelitian ilmiah yang di dasarkan pada Human Development Index (HDI)
menampilkan bahwa index manusia Indonesia rata-rata masih tergolong
menengah di antara negara-negara lain di dunia. Masih jauh di bawah
negara-negara maju di eropa dan Amerika. Namun sedikit lebih baik di
atas negara-negara Afrika yang hanya memilki lautan gurun pasir saja.
Bandingkan dengan Indonesia, yang memiliki sumber daya yang melimpah
ruah namun masih saja miskin. Bahkan masih kalah dengan negara serumpun
Malaysia dan ironisnya kalah juga dengan negara “kecamatan” Singapura.
Dari itulah, di tarik benang merah penyebab masalahnya. Dan salah
satu yang menjadi faktor (katanya) adalah ketidakberdayaan masyarakat
Indonesia yang mencakup ketidakberdayaan ekonomi, sosial dan politik. 30
Tahun di bawah rezim yang represif, membuat masyarakat Indonesia, gagal
dalam menghadapi arus modernisasi yang datang menyerbu bagai air bah
bergulung-gulung. Rakyat Indonesia, tidak benar-benar bisa memahami,
mengetahui keunggulan sumber daya lokal maupun potensi yang luar biasa
ini. Untuk itulah maka, diperlukan pendobrak kejumudan cara berpikir
masyarakat untuk membawa masyarakat indonesia menjadi kondisi masyarakat
yang berdaya.
Maka disebarlah, orang-orang pilihan. Mempunyai kualifikasi dan
pengalaman dalam hal pemberdayaan masyarakat. Strategi ulung yang mampu
mengakomodir semua pihak, mampu diterima di semua tingkatan dan
golongan serta selalu aktif mencurahkan energi, fikiran untuk
masyarakat, sanggup menjadi pelayan masyarakat. Mempunyai ketrampilan
teknis dan pengetahuan yang dapat di berikan untuk kemajuan masyarakat.
Bahkan kalau perlu pantang makan bila rakyat belum makan. Tidak akan
bisa tidur nyenyak bila masyarakat belum memperoleh hak-haknya. Pokoknya
segala yang memenuhi arasy otaknya adalah tentang masyarakat. Mereka
menyandang amanah selayaknya wali atau nabi utusan Tuhan yang bertugas
membawa manusia dari jaman jahiliyah atau kebodohan menuju jaman
“kepintaran”. Sehingga idealnya seorang pemberdaya masyarakat adalah
seorang yang memang benar-benar berdaya dan sanggup mengatasi segala
ketidakberdayaan. Karena tidak logis apabila seorang yang tidak berdaya
akan sanggup mengatasi ketidakberdayaan di luar dirinya. ”Ngurus awake
dewe wae gak iso kok meh ngurus wong liyo”.
Pemberdaya masyarakat menyandang amanah yang sangat berat. Di serang
dari bawah dan di tekan dari atas. Kondisi masyarakat yang masih mualaf
dalam hal demokrasi, merupakan tantangan yang tidak ringan. Cerita
tentang seorang fasilitator yang di intervensi, di ancam baik secara
verbal maupun fisik, sudah merupakan makanan sehari-hari yang harus
dihadapi. Seorang pemberdaya masyarakat sesuai dengan yang telah di
amanahkan oleh MDGS (Milenium Development Goals) harus dapat mengurangi
kemiskinan di wilayah tugasnya masing-masing. Meskipun agak sedikit
kurang masuk akal, bagaimana mungkin hanya dengan pemberian bantuan 1
milyar s.d 3 milyar, dapat langsung mengubah masyarakat menjadi berdaya.
Lha wong yang tiap tahun diberi dana bantuan saja belum tentu
masyarakatnya tiba-tiba menjadi sejahtera. Namun karena itu sudah
merupakan tugas dan tanggung jawabnya, pemberdaya masyarakat mau tidak
mau tetap harus sanggup dan siap dalam melaksanakan tugas mulia ini.
Mungkin karena dirasa sebagai seorang yang harus multi talented,
agent culture of change, pendekar mumpuni yang sanggup menguasai segala
bidang, maka seorang pemberdaya merasa kelelahan. Capek. Melihat realita
yang di jumpai di lapangan ternyata njomplang dan seringkali malah
bertabrakan dengan teori-teori pemberdayaan baku. Belakangan baru di
ketahui bahwa tidak semudah dan segampang yang tercantum dalam buku
teknis dan pedoman. Teori pemberdayaan terkadang dirasa tidak relevan
lagi di hadang keruwetan kondisi masyarakat.
Banyak faktor seperti faktor struktural, kultural, birokratis serta
faktor-faktor yang tidak akan terlacak oleh ilmu-ilmu sosial karena
memang akan sangat sulit di identifikasi. Namun jelas, bahwa
permasalahan yang menghadang akan sangat complicated. Anda akan
mendapati 10 persen yang dilaporkan dan di umumkan dan menyimpan 90
persen hal-hal yang tabu untuk di ungkapkan kepada publik.
Dalam situasi seperti itu yang berlangsung selama bertahun-tahun,
membuat nilai pemberdayaan mengalami distorsi dan reduksi. Nilai
pemberdayaan bukan lagi menjadi nilai yang kualitatif, namun sudah
bergeser menjadi nilai normatif saja. Sudah tidak peduli lagi apakah
berpihak kepada masyarakat miskin atau tidak, tidak perduli apakah
kualitas proses pengambilan keputusan merupakan representasi demokrasi
atau tidak, karena yang terpenting adalah di atas kertas kerja saja yang
penuh dengan data manipulatif. Dan puncaknya adalah kita sanggup
menyelenggarakan sebuah musyawarah besar yang ternyata merupakan
sandiwara serta rekayasa belaka.
Kondisi ini sangat ironis, karena sebagai pemberdaya kita sendiri
malah tidak berdaya. Tidak berdaya menghadapi tekanan, beban tahapan
program, laporan yang absurd sehingga menyebabkan ruh moral dan etika
pemberdaya terselip di tengah-tengah himpitan kegiatan. Kita di hadapkan
dengan pilihan simalakama, bekerja dengan nilai dan etika namun progres
akan mengalami keterlambatan ataukah bekerja di atas meja yang semuanya
dapat di olah dan dibuat tanpa kita melihat kondisi sejati masyarakat
namun keuntungannya adalah akan meningkatkan citra diri kita kepada
program. Keterlambatan laporan akan membuat anda terancam, dan atasan
akan menganggap anda tidak becus bekerja secara profesional. Sedangkan
indikator evaluasi kinerja juga tidak mampu menyentuh aspek yang murni
karena disana sini karena berbias dengan subjektivitas.
Di tengah keruwetan tersebut, pemberdaya menjadi oleng dan
mengapung-apung di tengah gelombang tahapan program kegiatan. Semuanya
harus di kerjakan, dilaksanakan, diselesaikan dan di laporkan. Tidak
hanya tuntutan atasan namun juga keadaan masyarakat yang menuntut
pendampingan. Belum selesai satu sudah muncul tugas dan beban yang lain.
Belum lagi di tambah permasalahan di dalam tubuh internal yang juga
harus di selesaikan dan juga tetap di laporkan. Para pelaku
pemberdayaan, menjadi malah sibuk berkutat, berdiskusi, berdebat, sampai
melupakan esensi pemberdayaan itu sendiri. Kita seolah-olah harus mampu
apa saja, siap kapan saja, dan tidak boleh mengeluh.
Sehingga bukanlah hal yang aneh, apabila di balik (katanya)
kesuksesan program namun di belakang layar, kita sering mendengar
celotehan bernada minor. “Kalau suatu pekerjaan dikerjakan, maka pekerjaan itu akan
sedikit-demi sedikit terselesaikan. Namun bila disini, semakin suatu
pekerjaan itu dikerjakan, bukan malah selesai namun malah akan tambah
semakin banyak pekerjaan….” Kata pelaku di tingkat desa.
Bahkan terkadang kita sering mendengar anekdot : “Kalo seperti ini
bukan pemberdayaan namun lebih tepat diperdayai. Karena bukan semakin
kita berdaya namun malah semakin bingung karena kebijakan sering tidak
konsisten dan kurang relevan dengan kondisi di lapangan.”
“Kita bekerja kepada antek Kumpeni yang tidak punya hati nurani. ”
Kata seseorang. “ Tidak boleh melakukan sedikit kesalahan apapun. Karena
satu kesalahan yang kita lakukan akan membumihanguskan seluruh kinerja
yang telah kita hasilkan.”
“Tidak sesuai dengan Undang-undang Ketenagakerjaan, hak-hak kita diperkosa…” Tambah seseorang pemberdaya yang sudah senior.
“Kita disuruh mengentaskan kemiskinan tapi tidak di beri reward dan
jaminan keamanan hari tua. Bila program ini berhasil kita sendiri malah
akan menjadi miskin, menjadi pengangguran karena kita terkena PHK.”
Bermacam-macam lagi uneg-unegnya yang masalahnya menggumpal dari
dalam mereka masing-masing yang bersumber dari kekesalan dan pressure
beban pekerjaan yang tidak dimengerti harus di salurkan ke arah mana
amarah tersebut. Karena toh bila terpaksanya dikembalikan lagi juga
banyak yang tidak berani nyali. Karena perjanjian kontraknya jelas.
Silahkan angkat kaki bila tidak berminat disini.
Dari satu sisi saja sudah dapat kita identifikasi ketidakberdayaan
dalam diri kita. Alih-alih memberdayakan masyarakat, memberdayakan diri
kita sendiri saja masih tanda tanya besar. Terlihat dari banyaknya hal
yang ternyata tidak sanggup kita selesaikan sehingga menjadi kebuntuan.
Tantangannya adalah apakah kita akan terus berkeluh kesah, terhadap
pekerjaan kita yang semakin memperlihatkan ketidakberdayaan kita.
Ataukah kita memulai menata kembali nilai pemberdayaan untuk dapat
diterapkan kepada masyarakat yang tidak melanggar mekanisme kebijakan
namun dapat diterima dengan hati dan bukan hanya administrasi.
Setidaknya mari kita memulai dari kita sendiri.
0 Komentar:
Posting Komentar