Enduh Nuhudawi |
Namun sejak 2009, desa berpenduduk 14 ribu
jiwa dengan 1.045 orang di antaranya di golongan prasejahtera itu menjadi
sorotan nasional. Bahkan tahun itu Desa Situ Udik menjadi desa percontohan
se-Jawa Barat.
Warga Desa Situ Udik memang masih banyak yang
terbelit kemiskinan. Namun, sejak tiga tahun lalu sudah 68 rumah tidak layak
huni (RTLH) berhasil diperbaiki secara bergotong-royong oleh warga. Perbaikan
itu bisa terwujud karena saban hari setiap warga mengumpulkan uang Rp100.
Ada kotak kayu layaknya kotak amal yang ada di
masjid atau buku catatan sumbangan yang diedarkan pengurus RT ke rumah-rumah.
Di akhir bulan, uang yang dikumpulkan ke perangkat desa itu disalurkan untuk
pembangunan atau perbaikan rumah keluarga miskin.
Kegiatan yang dinamai Serumpi yang berasal
dari kata ‘reriungan sarumpi’ ini memang tidak muncul begitu saja. Ini
merupakan hasil gagasan sang kepala desa (kades), Enduh Nuhudawi.
“Konsep saya tiga saja, gotong-royong,
kebersamaan, dan kepedulian serta rasa ingin maju. Di mana pun (bisa)
berhasil,” kata pria 49 tahun ini. Konsep itulah yang diluncurkan Enduh saat
pencalonan kades pada 2008.
Namun, ide nyata tentang kotak Serumpi itu
didapat setelah Enduh berkeliling menyaksikan kondisi desa. Hal itu sebenarnya
dilakukan untuk meyakinkan dirinya menerima desakan dari tokoh desa agar ia mau
menjadi kades.
Sebagai pemilik tiga toko sembako, Enduh
mengaku pada awalnya tidak ada keinginan menjadi kades. Ayah empat anak ini pun
mencari panggilan apa yang membuatnya perlu menjadi kades di desa itu. Nyatanya
selama berkeliling desa yang ia temui adalah berbagai masalah sosial. Namun hal
itu justru meyakinkannya.
”Satu bulan saya muter tiap hari. Di situ saya
banyak temuan, di antaranya banyak RTLH, masyarakat sakit tidak bisa berobat.
Di situ akhirnya saya mau.” Setelah terpilih jadi kades, Enduh langsung
mengemukakan konsep program pengumpulan Rp100 tersebut.
Awalnya dengan uang sendiri.
Awalnya pelaksanaan program Serumpi tidak
mudah. Warga desa banyak yang tidak percaya, baik terhadap keberhasilan program
maupun soal penggunaan uang itu. Karena tidak ingin idenya gagal, Enduh pun
melaksanakan aksi rahasia yakni memperbaiki dua rumah keluarga miskin dengan
uangnya sendiri. Namun, kepada masyarakat ia katakan bahwa perbaikan itu
merupakan hasil pengumpulan uang Rp100.
“Waktu itu saya habis delapan jutaan. Saya
keliling ke pengajian dan saya sampaikan bahwa uang dari seratus rupiah itu
sudah bangun dua rumah,” tuturnya. Cara itu terbukti jitu. Keberhasilannya jadi
pembicaraan warga dan akhirnya mereka mulai antusias bersedekah.
Awal 2009, wadah sumbangan tidak perlu selalu
diedarkan karena sudah ada di rumah-rumah warga. Setiap bulan, dari 43 RT yang
ada di wilayah tersebut, rata-rata terkumpul uang Rp4 juta. Bahkan pernah pula
mencapai Rp8 juta.
Program yang dilakukan Enduh kemudian mendapat
dukungan pemerintah kabupaten. Sebanyak 50 rumah lainnya dapat diperbaiki
dengan dana pemkab.
Pemkab Bogor pada 2012 ini menargetkan
perbaikan 4.000 rumah. Jumlah itu merupakan bagian dari 49.093 RTLH yang
terdata pada 2010.
Enduh menetapkan target setiap bulan harus ada
rumah yang dibangun atau diperbaiki secara mandiri. Biaya yang dianggarkan
untuk tiap rumah berbeda-beda, sekitar Rp2,5 juta – Rp6 juta.
Umumnya perbaikan yang berbiaya besar
disebabkan tidak ada faktor internal penunjang, misal dukungan finansial dari
anak-anak pemilik rumah. Enduh memang berusaha untuk melibatkan pemilik rumah
menyumbang dana untuk mendidik kemandirian.
“Masyarakat jangan disuapin saja. Malah uang
ini harusnya berkembang. Bedah rumah ini enggak 100% tapi 80%. Karena kalau
100%, itu tidak mendidik keluarganya.”
Enduh juga mengeluarkan sanksi bagi masyarakat
yang enggan menyumbang untuk fakir miskin. Namun, sebagaimana sosialisasi
Serumpi, sanksi pun menggunakan pendekatan agama. “Saya bilang sanksinya
didoakan ramai-ramai di mesjid supaya belangsak. Warga pun takut,” cetusnya.
Kini meski total telah 118 RTLH diperbaiki, Serumpi belum akan
berhenti. Berdasarkan pendataan, Enduh mengatakan masih ada 173 RTLH belum
tersentuh. Untuk itu, Enduh pun bercita-cita mengumpulkan Rp15 juta per bulan
agar rumah-rumah itu rampung dalam waktu setahun.
0 Komentar:
Posting Komentar