Masjid Al-Marsyam di Dusun Beton, Desa Parangbatu, Kecamatan Parengan, Tuban, masih tergolong baru dibandingkan dengan masjid lainnya yang ada di Kecamatan Parengan, apalagi gapura dan pagarnya.
Gapura di pintu masuk dari arah barat, juga pagar bagian depan, bukan pagar tembok biasa, tapi pagar dengan arsitektur yang biasa ada di (pagar) Pura di Bali. Bahkan, gapura di pintu masuk bagian timur, yang juga mengambil model tipe gapura di Pura Bali, juga masih dalam tahap pengerjaan.
“Saya mengerjakan gapura dan pagar masjid ini, lamanya ada sekitar enam bulan,” kata salah seorang pekerja di Masjid Al-Marsyam, I Nyoman Kandra (43), ditemui ketika sedang mengerjakan pintu gapura.
I Nyoman Kandra yang asalnya Tabanan, Bali, dan menetap di Malang itu, menyebutkan, dalam mengerjakan gapura dan pagar bagian depan sepanjang 38 meter, hanya dengan tiga tenaga kerja. Dua tenaga kerja warga desa setempat, dan satu tenaga kerja lainnya warga Malang.
“Model gapura dan pagar, merupakan kreasi saya dengan mengambil pola yang ada di pagar Pura-Pura Bali atas permintaan pemilik masjid,” ucapnya, menjelaskan.
Padahal, menurut dia, dirinya belum pernah menjumpai masjid di Bali yang mengambil pola gapura, pagar atau lainnya, yang mengadopsi arsitektur Bali. Namun, di perumahan Griya Dewata di Jalan Joyo Agung, Malang, ada sebuah masjid yang pilarnya, gapura dan pagarnya dengan mengambil pola Pura Bali.
“Saya yang membuat, hanya masjidnya lebih kecil dibandingkan masjid di sini,” jelasnya.
Sebagaimana juga diungkapkan Kandra, pemilik masjid di Desa Parangbatu itu, bernama Puspa, warga asli desa setempat yang menetap di Surabaya, yang juga memiliki rumah di perumahan Griya Dewata Malang.
“Saya diminta membangun gapura dan pagar dengan pola arsitektur Pura Bali,” ucap Kandra yang bekerja sebagai tukang sudah 15 tahun itu.
Ia menjelaskan, bahan bangunan gapura maupun pagar, semuanya berasal dari Tuban, baik batu kumbung dan batu bata. Nuansa Bali juga terlihat pada masjid yang memanfaatkan delapan “wuwung” dan satu “menur” (atap masjid), yang semuanya didatangkan dari Bali.
Tidak hanya itu, di papan nama Masjid Al-Marsyam, yang berada di depan, juga diperkuat dengan Bahasa Jawa yang juga menyebutkan nama Masjid Al-Marsyam.
“Bahan batu kumbung yang dimanfaatkan tidak jauh berbeda, hanya beda warna, kalau di sini warnanya putih, tapi kalau di Bali warnanya abu-abu, namanya batu paras,” paparnya, mengungkapkan.
Menurut dia, dua gapura dan pagar bagian depan sepanjang 38 meter tersebut, diperkirakan menghabiskan biaya sekitar Rp70 juta, termasuk ongkos tukang. Pembangunan gapura dan pagar tersebut belum rampung seluruhnya, sebab bagian belakang dan samping masih belum berpagar.
“Rencananya pagar keliling masjid ini, polanya Pura Bali, hanya saja pembangunannya dilaksanakan bertahap, menunggu dana, sebab sepekan lagi saya diminta menghentikan pekerjaan,” tutur I Nyoman Kandra, yang mengaku juga rajin ikut shalat di masjid itu, selama bekerja membangun pagar.
Biaya pembangunannya, sebagaimana diungkapkan Bendahara Takmir Masjid Al-Marsyam, Suyono murni berasal dari pemilik masjid, tidak ada dana dari luar.
“Semula masjid di sini berupa mushala, baru dua tahun yang lalu dibangun menjadi masjid,” katanya, menjelaskan.
Ia menyebutkan, pembangunan masjid bagian depan dengan ukuran sembilan kali sembilan meter, menghabiskan dana Rp250 juta dan bagian belakang yang menyatu dengan mushala, berukuran 12 X 12 meter, menelan dana Rp500 juta.
Sementara ini, lanjutnya, masjid yang berdiri di atas tanah seluas 50 X 80 meter, masih milik pribadi, belum diwakafkan ke desa. Meski demikian, susunan pengurus Takmir Masjid Al-Marsyam, juga melibatkan Kepala Desa Parangbatu, perangkat desa lainnya, dan tokoh masyarakat.
“Iuran yang diperoleh dari jamaah Sholat Jumat, kami manfaatkan untuk membiayai TPA yang memiliki sekitar 40 siswa,” jelasnya.
Mengenai keberadaan masjid dengan nuansa arsitektur Bali itu, Suyono menyatakan, warga di Desa Parangbatu dan sekitarnya bangga, terutama jamaah masjid setempat.
“Ada warga yang mencela, yang menyebut masjid kok seperti Pura Bali. Tapi, jumlahnya tidak banyak dan mereka juga tidak pernah shalat, apalagi berjamaah ke masjid di sini,” ungkapnya, sambil tersenyum.
Keelokan masjid ini, ujar Suyono, akan menambah daya tarik obyek wisata pemandian air hangat Prataan di Desa Prataan, Kecamatan Parengan, Tuban.
Lokasi masjid cukup strategis, berada di tepi jalan raya menuju obyek wisata Prataan, namun mudah dijangkau dari jalan raya Bojonegoro-Jatirogo, Tuban. Berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Bojonegoro dan hanya lima kilometer dari obyek wisata Prataan.
Bagi pengunjung obyek wisata Prataan, bisa dipastikan melewati masjid itu, dan bisa memanfaatkan masjid untuk shalat, sekaligus beristirahat, seraya menikmati nuansa Bali dan kesejukan sekitar masjid yang kanan kirinya dipenuhi pohon jati.
“Jamaah masjid dari hari ke hari, semakin bertambah, dari luar kota juga ada, seperti rombongan ibu-ibu PKK PLN Surabaya yang berkunjung ke wisata Prataan, juga beristirahat di masjid ini, untuk melaksanakan shalat,” papar Suyono, dengan nada bangga.
0 Komentar:
Posting Komentar