Para Pekerja Seks Komersial (PSK) di Desa Ngujang, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung terancam menganggur dan meninggalkan wisma. Pasalnya, tempat mereka biasa mangkal akan ditutup untuk selamanya. Padahal, jumlah PSK ditempat ini jumlahnya ratusan.
Pagi itu, mereka sengaja tidak berdandan. Tidak ada bedak tebal, gincu merah, bau parfum yang merangsang, baju seksi ataupun ekspresi genit penuh jurus rayuan. Sudah sekitar setengah jam, para PSK ini hanya duduk-duduk santai di lantai Desa Ngujang.
Beberapa diantaranya, bahkan asik ngobrol dengan tawa cekikikan. Ada yang memperbincangkan tamu yang berkantong tebal serta royal. Adapula yang mengeluh kecapekan karena menerima banyak tamu semalaman.
Usia mereka bervariatif, mulai delapan belasan hingga tiga puluhan. Di sudut lain, perempuan yang separo hidupnya hanya untuk berdandan dan setengahnya lagi melepas pakaian itu, mengeluhkan tingkah para pelanggannya yang nakal. Datang dengan mulut berbau minuman (alkohol), kasar dan enggan membayar.
Jika sudah demikian, biasanya berakhir dengan aksi kekerasan. Sepintas, orang-orang ini memang tidak terlihat sebagai sekumpulan orang yang kecewa. Tidak ada teriakan lantang lazimnya massa yang berunjuk rasa. Tidak ada caci maki dan sejenisnya.
Namun kendati demikian, keberadaan mereka di Balai Desa Ngujang pagi itu merupakan wujud perjuangan hidup. Mereka tengah melawan kebijakan yang mereka anggap sebagai bentuk kesewenang-wenangan kekuasaan. Atas nama moral dan kebijakan, seluruh tempat lokalisasi di Kabupaten Tulungagung akan ditutup total. Tidak terkecuali lokalisasai Ngujang.
"Kami tidak siap jika tahun ini (2012) lokalisasi harus ditutup," keluh Mami Mega (38), salah seorang mucikari.
Hampir satu jam, 10 orang perwakilan PSK berada di dalam ruang Kepala Desa. Selain mucikari dan PSK, beberapa perwakilan di dalam ruangan tersebut adalah warga setempat.
Menurut Mami Mega, lokalisasi tidak hanya memberi hidup bagi para penghuni yang ada di dalamnya. Pada sisi ekonomis komplek pelacuran itu juga sudah menjadi pusat kegiatan ekonomi. Tidak sedikit warga sekitar yang turut mengambil manfaat dari sana. Mulai bekerja sebagai penjaga parkiran kendaraan tamu, hingga membuka lapak-lapak yang memperdagangkan makanan dan minuman.
"Hubunganya saling menguntungkan. Jika ini ditutup, tentunya akan banyak warga yang kehilangan mata pencaharian. Tidak hanya para PSK dan mucikari seperti saya," terangnya.
Seperti diketahui, selain lokalisasi Ngujang, Kabupaten Tulungagung juga memiliki komplek pelacuran legal Kaliwungu yang berada di Kecamatan Ngunut. Total penghuni kedua lokalisasi tersebut mencapai 350 orang, dengan 36 orang diantaranya asli warga Tulungagung.
Secara geografis, kedua tempat pelacuran ini berada di tengah permukiman penduduk. Meskipun dalam sejarah, lokalisasi lebih dulu ada dibandingkan permukiman warga. Pemkab Tulungagung berencana melakukan penutupan pada tahun 2012 ini. Selain memberikan pembinaan, pemkab juga menjanjikan uang tali asih sebesar Rp5 juta kepada masing-masing eks PSK.
Untuk program ini Bupati Tulungagung Heru Tjahjono pernah menyatakan, Pemerintah Daerah (Pemda) telah menyiapkan anggaran sebesar Rp12 miliar untuk membersihkan lokalisasi.
Menurut Mega, penutupan yang direncanakan hanya setahun itu terlalu cepat. Harusnya pemkab menyediakan waktu lebih lama. Disisi lain, Pemda juga tidak pernah melakukan pembinaan seperti yang dijanjikan.
"Kami baru bersedia ditutup jika sudah berjalan 10 tahun lagi. Perlu anda ketahui, menjadi PSK bukan cita-cita. Tapi sebuah pilihan terakhir, karena tidak ada pilihan hidup lain yang lebih baik," tegasnya.
Hal senada disampaikan Rudi, salah seorang Ketua RT setempat. Jika ditutup tahun ini, dirinya khawatir akan banyak warga yang kehilangan mata pencaharian. "Lagipula tanah yang digunakan sebagai lokalisasi itu berstatus sebagai tanah desa. Kenapa pemerintah daerah memaksakan," keluhnya.
Hasil pertemuan, Kades Ngujang Eko Purnomo akhirnya bersedia menandatangani surat pernyataan yang intinya menolak penutupan. Surat tersebut rencananya akan disampaikan ke DPRD dan pemerintah daerah setempat. Namun dalam hal ini Eko berdalih, apa yang dilakukannya hanya sebagai bentuk menyampaikan aspirasi warganya.
"Sebagai kades saya tidak dalam kapasitas menerima atau menolak. Kapasitas saya hanya menyampaikan aspirasi warga saya," pungkasnya.
0 Komentar:
Posting Komentar